Rizal Ramli Diperiksa KPK Terkait Kasus BLBI, Begini Penjelasannya
Berita

Rizal Ramli Diperiksa KPK Terkait Kasus BLBI, Begini Penjelasannya

Rizal berharap penjelasannya hari ini kepada KPK akan membuka titik terang pengungkapan kasus BLBI.

ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Rizal Ramli diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
Rizal Ramli diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.
KPK memeriksa mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian Rizal Ramli sebagai saksi dalam kasus tindak pidana korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp3,7 triliun dengan tersangka mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Kalau tidak salah saya sudah tiga tahun lalu diperiksa kasus ini bersama Pak Kwik Kian Gie sebagai saksi ahli. Saya tidak tahu kenapa kasusnya tiga tahun hilang muncul kembali," kata Rizal, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001, di gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/5/2017) seperti dikutip Antara.

Ia menceritakan dahulu dirinya sering dimintakan pendapat saat Baharuddin Lopa menjabat sebagai Jaksa Agung terkait kasus-kasus dalam bidang ekonomi. "Dulu waktu Jaksa Agung Lopa banyak kasus bidang ekonomi. Jaksa memang mengerti aspek hukumnya, tetapi tidak mengerti aspek ekonominya," kata Rizal.

Ia menerangkan Baharuddin Lopa biasanya datang ke rumah dirinya dengan membawa bahan-bahan untuk didiskusikan. "Kami diskusikan gimana sih modusnya terjadinya kejahatan (ekonomi) apakah pada level kebijakan atau pada level pelaksanaan. Kemudian Pak Lopa mengembangkan, tetapi sayang Pak Lopa meninggal beberapa lama kemudian," kenang Rizal.

Selain itu, kata dia, saat Bibit Samad Rianto menjabat sebagai Wakil Ketua KPK, dirinya juga dimintai memberikan penjelasan secara tertutup dalam kasus korupsi Bank Century.

"Apakah kasus Century itu kasus korupsi biasa atau memang kebijakannya yang bersifat kriminal dengan sengaja. Pada waktu itu, saya jelaskan kepada Pak Bibit bahwa Century adalah kasus kebijakan yang memang dirancang dari awal sifatnya kriminal dengan ambil uang negara," tuturnya.

Ia pun berharap penjelasannya hari ini kepada KPK akan membuka titik terang pengungkapan kasus BLBI.

"Hanya saja, saya berharap kasus ini tidak ditukar guling dengan kasus lain seperti kasus korupsi e-KTP. Saya berharap dan kami percaya KPK tidak akan melakukan tukar guling terkait kasus ini. Ini kesempatan Pemerintahan Jokowi untuk all out buka kedua kasus ini. Ini kesempatan dan momentum untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan good governance di Indonesia," kata Rizal. Baca Juga: Presiden Jokowi: Bedakan Kebijakan dan Pelaksanaan BLBI

Tak lepas dari tekanan IMF
Lebih jauh, dia menjelaskan kepada KPK bahwa kasus BLBI soal pemberian SKL tidak bisa dilepaskan dari tekanan IMF kepada Indonesia. "Seperti diketahui di Asia pada 1997-1998 mengalami krisis. Negara-negara tetangga kena krisis dan Indonesia juga kena. Kalau kita undang IMF, ekonomi Indonesia tetap kena krisis dan anjlok sekitar enam persen, dua persen bahkan nol persen," kata Riza.

Menteri Perekonomian pada waktu itu mengundang IMF akibatnya ekonomi Indonesia malah anjlok ke minus 13 persen. "Sebelum Managing Director IMF Michael Camdessus ketemu Pak Harto pada Oktober 1997, saya diundang dengan beberapa ekonom, saya satu-satunya ekonom yang menolak IMF datang ke Indonesia karena pengalaman di Amerika Latin, IMF malah bikin lebih rusak daripada bikin lebih bagus," katanya.

Saat itu, IMF menyarankan agar tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen menjadi 80 persen, sehingga banyak perusahaan yang sehat menjadi bangkrut dengan bunga 80 persen tersebut.

"IMF memerintahkan supaya ditutup 16 bank kecil-kecil tahun 1998, tetapi begitu bank kecil ditutup rakyat tidak percaya dengan semua bank Indonesia. Apalagi bank swasta pada mau menarik uangnya seperti BCA dan Danamon. Bank-bank ini nyaris bangkrut, akhirnya pemerintah terpaksa menyuntik BLBI dalam mata uang dolar AS dan pada waktu itu nilainya sekitar 80 miliar dolar AS," tuturnya.

Rizal juga menjelaskan IMF saat itu juga memaksa pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM pada 1 Mei 1998. "Dua hari sebelum kenaikan itu saya diundang oleh Managing Director IMF Asia di Hotel Grand Hyatt. Dia bilang Pak Ramli kami mau minta pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM 74 persen, saya bilang hati-hati ini suasananya sudah ‘panas’, kalau kamu paksakan ini bisa terjadi sesuatu," kata Rizal.

Pada 1 Mei 1998, kata Rizal, Pemerintahan Soeharto akhirnya menyetujui menaikkan harga BBM sebesar 74 persen. "Kemudian terjadi demo besar-besaran di Makassar, Medan, Solo, dan Jakarta. Ribuan orang luka-luka ratusan meninggal, Rupiah anjlok dari Rp2.300 menjadi Rp15.000. Hal ini dikenal dalam literatur sebagai ‘kerusuhan’ yang diakibatkan oleh kebijakan IMF. Jadi akibat tiga kebijakan ini, terjadilah kasus BLBI yang besar," ucap Rizal.

Ia menceritakan saat itu para pemilik bank yang dibantu kredit BLBI pada dasarnya akan dibantu dengan uang tunai. "Jadi meminjam tunai harus dikembalikan dengan tunai, tetapi pada Pemerintahan Habibie dilobi diganti tidak usah bayar tunai asal menyerahkan aset saham, tanah, dan bangunan perusahaan. Kalau obligornya itu benar dia serahkan aset yang bagus yang sesuai dengan nilainya, tapi juga ada kasus-kasus di mana dia menyerahkan aset ‘busuk’ yang nilainya itu tidak sepadan," kata Rizal.

Rizal mengaku dirinya dipanggil KPK dalam kapasitasnya sebagai mantan Menko Perekenomian dan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) pada saat itu.

"Tetapi kejadian yang diselidiki KPK ini terjadi setelah saya tidak lagi jadi Ketua KKSK dan tidak lagi jadi menteri, tetapi oleh Menko yang baru di pemerintahan setelah Gus Dur. Saya dimintai keterangan karena saya ketahui prosedur, proses dalam pengambilan keputusan masalah-masalah yang ada di BPPN. Sebelumnya, KPK juga sudah memanggil Kwik Kian Gie yang jadi Menko sebelum saya menjabat untuk mengetahui proses dan prosedur yang terjadi," tuturnya.

Sebelumnya, Syafruddin selaku ketua BPPN diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.

Atas penerbitan SKL itu, diduga ada kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
UU Pemberantasan Tipikor
Pasal 2

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF. Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun, penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan secara keseluruhan.

Terkait dengan dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Akan tetapi, Kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN kala itu. Kejagung mendasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur, yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan saat kepemimpinan Presiden Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Baca Juga: Babak Baru Penanganan Korupsi BLBI VS Klaim Lunas Sjamsul Nursalim

Dalam penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001 s.d. 2004 Laksamana Sukardi, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000 s.d. 2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998 s.d. 1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999 s.d. 2000 dan Kepala Bappenas 2001 s.d. 2004 Kwik Kian Gie.
Tags:

Berita Terkait