Mempersoalkan Jerat Hukum Penyebaran Hoaks di Kasus Ratna Sarumpaet
Berita

Mempersoalkan Jerat Hukum Penyebaran Hoaks di Kasus Ratna Sarumpaet

Pasal yang paling mungkin menjerat RS melalui sangkaan Pasal 14 KUHP, tetapi itupun harus dapat dibuktikan korelasi tindakannya itu dengan keonaran yang timbul di kalangan rakyat. Sedangkan, pasal-pasal dalam UU ITE tidak dapat diterapkan dalam kasus RS.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi UU ITE. Ilustrator: BAS
Ilustrasi UU ITE. Ilustrator: BAS

“Sandiwara kebohongan” penganiayaan yang dialami aktivis Ratna Sarumpaet akhirnya diungkap sendiri melalui konperensi pers di rumahnya pada Rabu (3/10). Ratna mengaku tidak dianiaya dan membenarkan luka lebam di wajahnya karena prosedur bedah plastik. Sehari kemudian, Ratna ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Polda Metro Jaya atas laporan Ketua Umum Cyber Indonesia, beberapa komunitas advokat.     

 

Ratna dan beberapa pihak lain dijerat Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan/atau Pasal 14 dan/atau Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) atas tuduhan menyebarkan berita bohong alias hoak yang dinilai menimbulkan keonaran di masyarakat. Lantas, apakah pasal-pasal yang disangkakan kepada Ratna Sarumpaet (RS) Dkk sudah tepat?

 

Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai terlepas dari persoalan politik yang melingkupi kasus ini, pasal yang disangkakan terhadap RS rentan dipersoalkan. Sebab, melihat kasus posisi yang dialami RS belum memenuhi unsur-unsur pasal yang disangkakan terutama unsur yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat.

 

“Tetapi, perbuatannya hanya menimbulkan keonaran di kalangan netizen, tidak menyebabkan matinya seseorang dan hilangnya harta benda seseorang. Sehingga, kasus ini masih jauh dari perbuatan yang dapat dipidana,” kata Anggara saat dikonfirmasi Hukumonline, (8/10/2018).

 

Dia membandingkan dengan kasus dugaan penyebaran berita bohong mengenai jenis vaksin bagi anak-anak yang pernah beredar di masyarakat. Pemberitaan mengenai vaksin mengandung bahan berbahaya dan juga haram menyebabkan orang tua enggan memberi vaksin terhadap anak-anaknya. Akibatnya, banyak anak yang menderita sakit akibat berita bohong ini. Namun, respon penegak hukum berbeda dengan kasus RS.  

 

“Seharusnya kasus vaksin seperti ini yang ditindaklanjuti oleh polisi, karena berita bohong vaksin ini jaul lebih berat dampaknya,” kata dia. Baca Juga: Advokat Ini Laporkan Fadli Zon Dkk Terkait Kebohongan Ratna ke MKD

 

Pasal 14 KUHP

Ayat (1) “Barangsiapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.”

Ayat (2) “Barangsiapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.

Pasal 15 KUHP

“Barangsiapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.”

Pasal 28 UU ITE

Ayat (1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.”

Ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”

Tags:

Berita Terkait