Saya tahu bahwa perkawinan katolik tidak bisa cerai. Namun, saya sudah menikah 10 tahun dengan 2 orang anak melalui perkawinan secara agama Katolik. Kami memutuskan berpisah karena tidak cocok lagi, dan saya telah pindah agama (mualaf). Bagaimana cara mengurus surat perceraian dalam agama Katolik ini? Dan bagaimana hak asuh anak? Terima kasih, mohon penjelasannya.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Dalam Kitab Hukum Kanonik yang mengikat bagi umat katolik tidak dikenal adanya perceraian. Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan, bersifat monogami dan indissolubile.
Oleh karena itu, perkawinan Katolik tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judulPerceraian Agama Katolik (2)yang dibuat olehDiana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 1 Maret 2011, yang pertama kali dimutakhirkan pada Rabu, 10 Februari 2021.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Perkawinan Katolik
Kami turut prihatin atas kondisi rumah tangga yang Anda alami. Akan tetapi patut diperhatikan, sebenarnya dalam ajaran agama Katolik tidak dikenal adanya perceraian.
Untuk itu, mengenai cara mengurus surat perceraian yang Anda tanyakan, Romo Giovanni Mahendra Christi, MSF menegaskan bahwa dalam Kitab Hukum Kanonik yang mengikat bagi umat Katolik, tidak dikenal adanya perceraian.
Romo Giovanni juga menjelaskan, bagi Anda yang telah melangsungkan pernikahan sah secara Katolik dan kemudian memutuskan untuk berpisah dengan kesepakatan bersama pasangannya, dalam kacamata Gereja Katolik tidak ada perpisahan atau bisa dibilang benar adanya bahwa perceraian dalam Katolik tidaklah ada, yang mana dengan kata lain, persatuan pernikahan tetaplah ada.
Dalam Injil Matius 19:6 TB pun ditegaskan sebagai berikut:
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Kan. 1055 - § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
Kan. 1141 - Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.
Kemudian, Keuskupan Agung Jakarta melalui Hukum Gereja Mengenai Pernikahan Katolik juga turut menegaskan bahwa perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan, bersifat monogami dan indissolubile.
Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedangkan indissolubile berarti setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum) secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian.
Sementara itu, dalam hukum positif Indonesia, arti perkawinan berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan yaitu:
Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Pidana Selingkuh Tanpa Bersetubuh bagi Pasangan, Adakah?, ikatan lahir terkait hubungan biologis, yaitu ikatan badaniah. Artinya suami dan istri hanya dapat melakukan hubungan biologis di antara mereka berdua saja.
Kemudian, ikatan batin adalah suatu ikatan yang datang dari lubuk hati seseorang, lubuk hati yang suci sesuai dengan ajaran agama masing-masing, baik suami dan istri bertekad membentuk mahligai rumah tangga, dalam keadaan suka maupun duka.
Selain itu, dikenal pula ikatan hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban secara hukum melekat pada suami dan istri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di sisi lain, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Jadi suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.[1] Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.[2]
Oleh karena itu, kami meluruskan pertanyaan Anda terkait surat perceraian dalam agama Katolik, bahwa menurut Kitab Hukum Kanonik tidak ada perceraian.
Kemudian Romo Giovanni mencontohkan, dalam hal Anda telah berpindah agama, dan misalnya hendak menikah kembali dengan umat Katolik, hal ini tidak bisa dilakukan. Namun perlu digarisbawahi, meskipun Anda telah berpindah agama, baptis yang telah Anda lakukan tetap berlaku seumur hidup. Sebab meterai baptis tidak akan pernah hilang sampai mati.
Hak Asuh
Selanjutnya, menjawab pertanyaan kedua mengenai hak asuh, Anda dapat merujuk Pasal 41 UU Perkawinan yang berbunyi:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Namun, sekali lagi, yang perlu Anda garisbawahi adalah bahwasanya putusnya perkawinan di sini dilakukan berdasarkan ketentuan hukum sipil menurut peraturan perundang-undangan, dan bukan merupakan surat perceraian dalam agama Katolik sebagaimana Anda tanyakan.
Demikian jawaban dari kami terkait perceraian dalam Katolik, semoga bermanfaat.