Kami asumsikan bahwa “budel buku kreditur yang telah ditetapkan” yang Anda maksud adalah daftar pembagian penutup yang sudah mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) UU 37/2004. Sehingga titik berat pertanyaan Anda adalah hak tagih kreditur yang tidak termasuk dalam daftar kreditur pada proses kepailitan pasca berakhirnya kepailitan tersebut.[1]
Perlu diketahui bahwa konsep utang dalam UU 37/2004 adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.[2]
klinik Terkait:
Ketentuan tersebut linear dengan definisi perikatan dalam Pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi:
Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Baca juga: Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak
Sehingga, perikatan kreditor dan debitor pailit hanya akan hapus:[3]
- karena pembayaran;
- karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
- karena pembaruan utang;
- karena perjumpaan utang atau kompensasi;
- karena percampuran utang;
- karena pembebasan utang;
- karena musnahnya barang yang terutang;
- karena kebatalan atau pembatalan;
- karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I Buku III KUH Perdata; atau
- karena lewat
Jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda, selama tidak dilakukan atau tidak terjadinya perbuatan dalam Pasal 1381 KUH Perdata di atas, maka perikatan tidak hapus. Dengan kata lain, hak tagih akan tetap ada, meskipun proses kepailitan selesai dan kreditor yang tidak masuk dalam daftar pembagian masih belum dibayarkan utangnya.
berita Terkait:
Bahkan dalam UU 37/2004 ditegaskan bahwa setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat maka kreditor memperoleh kembali hak eksekusi terhadap harta debitor mengenai piutang mereka yang belum dibayar.[4]
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
[1] Pasal 202 ayat (1) UU 37/2004
[2] Pasal 1 angka 6 UU 37/2004
[3] Pasal 1381 KUH Perdata
[4] Pasal 204 UU 37/2004