Bagaimana pengaturan mengenai cross border acquisition di Indonesia?
Bagaimana aturan hukumnya jika BUMN mengakuisisi perusahaan asing?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Cross border acquisition atau akuisisi lintas negara yang dilakukan oleh perorangan/badan usaha di dalam negeri terhadap suatu badan usaha di luar negeri tunduk pada hukum yang berlaku terhadap badan usaha luar negeri terkait, dikarenakan target badan usaha yang diakuisisi berdomisili di luar yurisdiksi Indonesia.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Akuisisi Perusahaan Lintas Negara (Cross Border Acquisition) yang dibuat oleh Andin Aditya Rahman, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 30 April 2013.
Apa yang dimaksud dengan akuisisi? Berdasarkan UU PT, akuisisi disebut sebagai pengambilalihan. Akuisisi adalahperbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.[1]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kemudian menyambung pertanyaan Anda, patut dipahami dulu apa itu cross border acquisition? Isil Erel, Yeejin Jang dan Michael S. Weisbach dalam artikel di NBER Working Paper Series berjudul Cross-Border Mergers and Acquisitions menjelaskan bahwa cross border acquisition mempunyai sifat pengambilalihan suatu badan usaha di suatu negara yang dilakukan oleh suatu badan usaha di negara lainnya.
Lebih lanjut, Munir Fuady dalam bukunya berjudul Hukum tentang Akuisisi, Take Over dan LBO (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007) juga menyebutkan bahwa akuisisi lintas negara atau cross border acquisition adalah akuisisi yang dilakukan oleh 1 perusahaan terhadap perusahaan lain yang berada di luar negeri. Karena berbeda negara antar pihak yang mengakuisisi dengan pihak yang diakuisisi sehingga berbeda pula hukum, prosedur dan kultur perusahaan, maka akuisisi lintas negara ini jauh lebih kompleks dari akuisisi biasa.
Berdasarkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa cross border acquisition dilakukan oleh:[2]
perorangan/badan usaha di dalam negeri mengambilalih badan usaha di luar negeri; atau
perorangan/badan usaha luar negeri mengambilalih badan usaha di dalam negeri.
Akuisisi Lintas Negara, Mana Hukum yang Berlaku?
Menjawab pertanyaan Anda, peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur cross border acquisition atau akuisisi lintas negara yang dilakukan oleh perorangan/badan usaha di dalam negeri terhadap suatu badan usaha di luar negeri. Hal ini dikarenakan cross border acquisition tersebut tunduk pada hukum yang berlaku terhadap badan usaha luar negeri terkait. Mengingat target badan usaha yang diakuisisi berdomisili di luar yurisdiksi Indonesia.
Sebaliknya, untuk cross border acquisition atau akuisisi lintas negara yang dilakukan oleh badan usaha luar negeri terhadap badan usaha di Indonesia secara garis besar tunduk kepada ketentuan pengambilalihan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut.
Cross Border Acquisition oleh BUMN terhadap Badan Usaha Asing
Menjawab pertanyaan kedua Anda, pada dasarnya tidak ada peraturan yang mengatur secara tegas larangan terhadap Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) untuk melakukan akuisisi terhadap badan usaha asing. Sehingga, pada prinsipnya BUMN dapat melakukan tindakan hukum tersebut. Sebagaimana telah disampaikan, akuisisi BUMN terhadap badan usaha asing tunduk pada hukum yang berlaku pada negara terkait.
Sebagai tambahan informasi, Menteri BUMN pun telah menerbitkan SE No. SE-13/MBU/10/2021 yang mana isinya BUMN dapat melakukan penyertaan modal berupa tanah kepada anak perusahaan atau perusahaan patungan (joint venture) yang telah ada dengan syarat kepemilikan saham BUMN pada pada anak perusahaan atau perusahaan patungan (joint venture) minimal 99% sebelum atau sesudah inbreng saham BUMN.[3]
Namun demikian, ketentuan minimal 99% kepemilikan saham pada anak perusahaan atau perusahaan patungan (joint venture) tersebut dapat dikesampingkan dengan alasan:[4]
Melaksanakan kewajiban kebijakan atau program pemerintah, termasuk kebijakan atau program Menteri BUMN; dan/atau
Restrukturisasi perusahaan guna peningkatan nilai perusahaan.
Patut dicatat, pengesampingan ketentuan minimal 99% kepemilikan saham dengan alasan tersebut di atas hanya dapat dilakukan dengan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Menteri BUMN.[5]
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
[2] Munir Fuady, Hukum tentang Akuisisi, Take Over dan LBO (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 185