Apa perbedaan antara pasar modal yang biasa kita kenal sekarang dengan pasar modal syariah? Bagaimana sistematika pasar modal syariah?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pasar modal konvensional dan pasar modal syariah pada prinsipnya sama-sama tunduk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksananya. Yang membedakan keduanya terletak pada pemenuhan kriteria prinsip hukum Islam.
Pasar modal konvensional tidak terikat pada kriteria prinsip syariah, sedangkan pasar modal syariah mengharuskan tunduk pada instrumen dan mekanisme yang berlaku dalam pasar modal serta tidak bisa dilepaskan dari ekonomi syariah. Bagaimana sistematikanya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Perlu diketahui, kegiatan pasar modal di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”) di mana di dalamnya tidak dibedakan apakah kegiatan pasar modal dilakukan dengan prinsip-prinsip syariah atau tidak.
Dengan demikian, berdasarkan UUPM, kegiatan pasar modal di Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan prinsip syariah dan dapat juga dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.[1] Adapun definisi pasar modal adalah:[2]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
Apabila dilihat dari sudut pandang syariah, pasar modal diartikan sebagai salah satu sarana, media atau produk muamalah, di mana menurut prinsip hukum Islam hal tersebut tidak dilarang atau dengan kata lain, dibolehkan sepanjang tidak terdapat transaksi yang bertentangan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariah, di antaranya transaksi yang mengandung riba dan bunga, spekulatif dan gharar (ketidakjelasan) dan potensi adanya penipuan.[3]
Perbedaan Pasar Modal Konvensional dan Syariah
Adrian Sutedi dalam bukunya Pasar Modal Syariah; Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah menerangkan perbedaan secara umum antara pasar modal konvensional dengan pasar modal syariah yaitu terletak pada instrumen dan mekanisme transaksinya (hal. 75).
Adrian menambahkan, jika membandingkan nilai indeks saham syariah dengan nilai indeks saham konvensional, dapat diketahui perbedaan keduanya terletak pada kriteria saham emiten. Dalam pasar modal syariah, kriteria saham emiten harus memenuhi prinsip-prinsip dasar syariah. Sedangkan dalam pasar modal konvensional, hal ini tidak berlaku sepanjang tunduk dan memenuhi ketentuan UUPM (hal. 75).
Selain itu, instrumen investasi memenuhi prinsip syariah bila kegiatan perusahaan dan anak perusahaan tidak bergerak pada produk alkohol, perjudian, produksi yang bahan bakunya dari babi, pornografi, jasa keuangan konvensional dan asuransi konvensional (hal. 84).
Perlu dipahami, pasar modal syariah merupakan salah satu implementasi konkret dari ekonomi syariah. Ibarat bangunan rumah ekonomi syariah, maka pasar modal syariah adalah salah satu ruangan di antara beberapa ruangan lainnya di rumah itu, di mana ruangan lainnya dapat berupa bank syariah, akuntansi syariah, asuransi syariah, dan lain-lain. Oleh karena itu, pasar modal syariah tidak bisa dilepaskan dari ekonomi syariah (hal. 75).
Dalam lingkup yang lebih spesifik di Indonesia, prinsip hukum Islam dalam kegiatan pasar modal syariah berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Sistematika pasar modal syariah meliputi: Penawaran Umum Efek syariah; Perdagangan Efek syariah; Pengelolaan Investasi syariah; Emiten dan Perusahaan Efek yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya; Perusahaan Efek yang sebagian atau seluruh usahanya berdasar prinsip syariah; serta lembaga dan profesi penunjang Efek syariah.
Fatwa DSN MUI tersebut menjelaskan kegiatan muamalah yang dilarang dalam transaksi pasar modal syariah, antara lain yang mengandung:[4]
Tadlis: tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang dilakukan oleh penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah objek akad tersebut tidak cacat;
Taghrir: upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun tindakan yang mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan transaksi;
Gharar: ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau kuantitas objek akad maupun mengenai penyerahannya;
Tanajusy/Najsy: tindakan menawar barang dengan harga lebih tinggi oleh pihak yang tidak bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak pihak yang berminat membelinya;
Ikhtikar: membeli suatu barang yang sangat diperlukan masyarakat pada saat harga mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjualnya kembali pada saat harganya lebih mahal;
Ghisysy: salah satu bentuk tadlis, yaitu penjual menjelaskan/memaparkan keunggulan/keistimewaan barang yang dijual serta menyembunyikan kecacatannya;
Ghabn: ketidakseimbangan antara dua barang (objek) yang dipertukarkan dalam suatu akad, baik segi kualitas maupun kuantitasnya;
Bai’al-Ma’dum: jual beli yang objek (mabi’)-nya tidak ada pada saat akad, atau jual beli atas barang (efek) padahal penjual tidak memiliki barang (efek) yang dijualnya; dan
Riba: tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-amwal al-ribawiyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan imbalan penangguhan pembayaran secara mutlak.
Aturan Terkait Pasar Modal Syariah
Jika kita menelusuri peraturan pasar modal syariah di Indonesia, setidaknya dapat kita pelajari beberapa peraturan di bawah ini:
Mengatur antara lain penerapan prinsip syariah di pasar modal dalam kegiatan syariah di pasar modal dan/atau kegiatan dan jenis usaha, cara pengelolaan usaha yang dilakukan, serta produk atau jasa yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah.
Peraturan ini juga merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, meliputi jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal, transaksi yang bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal, kewajiban bagi pihak yang melakukan kegiatan syariah di pasar modal, dan laporan pemenuhan prinsip syariah di pasar modal.
Memuat standarisasi persyaratan dan kompetensi pihak-pihak yang dapat melakukan jasa kesyariahan, termasuk tata cara perizinan Ahli Syariah Pasar Modal (“ASPM”). Selain itu, juga mengatur kewajiban penyampaian laporan oleh ASPM atas pelaksanaan tugasnya dalam 1 tahun.
Penerbitan efek syariah berupa sukuk ini menyempurnakan ketentuan Peraturan Nomor IX.A.13. Beberapa pokok penyempurnaan meliputi penyempurnaan definisi sukuk, pengaturan aset atau kegiatan usaha yang menjadi dasar sukuk dan penerbitan sukuk, pengaturan perjanjian perwaliamanatan, pengaturan peran dewan pengawas syariah atau tim ahli syariah dalam penerbitan sukuk, dan simplifikasi dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum sukuk.
Memuat kepastian aturan terkait Reksa Dana Syariah Berbasis Sukuk (RDSBS) terkait batasan investasi pada satu jenis efek, diversifikasi efek syariah luar negeri yang menjadi portofolio reksa dana syariah berbasis efek syariah luar negeri, kewajiban pengungkapan ada atau tidaknya mekanisme pemotongan zakat pada reksa dana syariah, dan aturan baru reksa dana syariah yang berorientasi pada investor perorangan terkait dengan jangka waktu pengumpulan dana kelolaan.
Penyempurnaan dari Peraturan Nomor IX.A.13 antara lain meliputi: jenis aset yang mendasari penerbitan efek beragun aset syariah berbentuk surat partisipasi, pernyataan atas akad, cara pengelolaan, dan portofolio dari efek beragun aset tidak bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal dapat dikeluarkan oleh dewan pengawas syariah manajer investasi atau tim ahli syariah.
Mengatur akad-akad yang digunakan dalam penerbitan efek syariah yang merupakan konversi Peraturan Nomor IX.A.14.
Beberapa pokok pengaturan, meliputi: definisi akad, ketentuan para pihak yang melakukan perjanjian (akad), serta hak dan kewajiban terkait akad ijarah, istishna, kafalah, mudharabah, dan wakalah.
Mengatur tentang dana investasi real estat syariah yang berbentuk kontrak investasi kolektif sekaligus memberikan acuan kepada manajer investasi dan bank kustodian dalam penerbitan dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif yang mencakup ketentuan kesyariahan pada penerbitan tersebut.
Beberapa pokok pengaturan kesyariahan meliputi: akad, cara pengelolaan, dan aset real estat, aset yang berkaitan dengan real estat dan/atau kas dan setara kas tidak bertentangan dengan prinsip syariah di pasar modal.
Aturan penerapan prinsip syariah di pasar modal khususnya bagi manajer investasi. Pokok pengaturan meliputi: definisi Manajer Investasi Syariah (MIS) dan Unit Pengelolaan Investasi Syariah (UPIS), persyaratan pengurus, kegiatan usaha dan permodalan, dokumen perizinan usaha, pelaporan.
Aturan kriteria dan penerbitan daftar efek syariah yang merupakan penyempurnaan Peraturan Nomor II.K.1 meliputi:
memperluas cakupan pihak yang wajib menggunakan daftar efek syariah;
memperluas cakupan jenis efek yang dapat dimuat dalam daftar efek syariah;
menambahkan ketentuan yang mewajibkan pihak penerbit daftar efek syariah memiliki DPS yang memiliki izin ASPM; dan
menambahkan ketentuan yang mewajibkan Dewan Pengawas Syariah untuk memastikan pemenuhan terhadap prinsip syariah di pasar modal atas efek syariah yang dimuat dalam daftar efek syariah diterbitkan oleh pihak penerbit daftar efek syariah.
Pihak yang dapat menjadi penyelenggara Program Pendidikan Berkelanjutan (“PPL”);
Penyelenggaraan PPL;
Persyaratan pengajuan permohonan pengakuan pihak sebagai penyelenggara PPL;
Kewajiban penyelenggara PPL;
Kewajiban peserta PPL;
Pemeriksaan penyelenggaraa PPL;
Pencabutan pengakuan pihak penyelenggara PPL.
Selain itu, fatwa-fatwa terkait pasar modal syariah sudah cukup lengkap antara lain:
Fatwa Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
Fatwa Nomor: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah;
Fatwa Nomor: 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
Fatwa Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal;
Fatwa Nomor: 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah;
Fatwa Nomor: 59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi;
Fatwa Nomor: 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah;
Fatwa Nomor: 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Waran Syariah;
Fatwa Nomor: 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara;
Fatwa Nomor: 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara;
Fatwa Nomor: 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back;
Fatwa Nomor: 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Sale and Lease Back;
Fatwa Nomor: 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang Surat Berharga Syariah Negara Ijarah Asset to be Leased;
Fatwa Nomor: 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek;
Fatwa Nomor: 95/DSN-MUI/VII/2014 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Wakalah;
Fatwa Nomor: 120/DSN-MUI/II/2018 tentang Sekuritisasi Berbentuk Efek Beragun Aset Berdasarkan Prinsip Syariah;
Fatwa Nomor: 121/DSN-MU/II/2018 tentang Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi (EBA-SP) Berdasarkan Prinsip Syariah;
Fatwa Nomor: 124/DSN-MUI/XI/2018 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Pelaksanaan Layanan Jasa Penyimpanan dan Penyelesaian Transaksi Efek Serta Pengelolaan Infrastruktur Investasi Terpadu;
Fatwa Nomor: 125/DSN-MUI/XI/2018 tentang Kontrak Investasi Kolektif – Efek Beragun Aset (KIK EBA) Berdasarkan Prinsip Syariah.