Sengketa Proses dan Sengketa (Perselisihan) Hasil Pemilu
Pemilihan Umum (“Pemilu”) menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut Uu Nurul Huda dalam bukunya Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia (hal. 273), dalam buku keempat UU Pemilu membedakan 4 (empat) jenis masalah hukum pemilu:
- Pelanggaran;
- Sengketa proses;
- Perselisihan hasil pemilu; dan
- Tindak pidana pemilu.
Pasal 466 UU Pemilu mendefinisikan sengketa proses sebagai sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Komisi Pemilihan Umum (“KPU”), keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Jadi berdasarkan definisi tersebut, Nurul Huda (hal. 274) membedakan sengketa proses pemilu menjadi dua kategori:
- Sengketa pemilu antar peserta pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota;
- Sengketa pemilu antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Sedangkan yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut Pasal 473 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Lebih lanjut menurut Nurul Huda (hal. 274), perselisihan hasil pemilu ini berkaitan dengan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu, dan perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara nasional meliputi perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat memengaruhi penetapan hasil pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Jadi sengketa proses pemilu adalah sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu dan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota, sedangkan sengketa (perselisihan) hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa (Perselisihan) Hasil Pemilu
Berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang apakah Mahkamah Konstitusi (“MK”) bisa menangani sengketa proses pemilu? Berikut penjelasannya:
MK adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”).
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”) dan kemudian diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“Perpu 1/2013”) dan kemudian ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang mengatur mengenai kewenangan MK, yakni berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
- menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- memutus pembubaran partai politik; dan
- memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).[1]
Dari penjelasan tersebut dapat kita lihat bahwa MK hanya berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Kewenangan Bawaslu dan PTUN dalam Sengketa Proses Pemilu
Untuk sengketa proses pemilu, lembaga yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses tersebut adalah Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”).[2]
Bawaslu
Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilu yang mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3]
Dalam sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas melakukan pencegahan dan penindakan:
- Dalam melakukan pencegahan sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas:[4]
- mengidentifikasi dan memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran Pemilu;
- mengoordinasikan, menyupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi Penyelenggaraan Pemilu;
- berkoordinasi dengan instansi pemerintah terkait; dan
- meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu.
- Sedangkan, dalam melakukan penindakan sengketa proses pemilu, Bawaslu bertugas:[5]
- menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
- memverifikasi secara formal dan material permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu;
- melakukan mediasi antarpihak yang bersengketa;
- melakukan proses adjudikasi sengketa proses Pemilu; dan
- memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.
Selain itu, Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.[6]
Putusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, kecuali putusan terhadap sengketa proses pemilu yang berkaitan dengan:[7]
- verifikasi Partai Politik Peserta Pemilu;
- penetapan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan
- penetapan Pasangan Calon.
Dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu sebagaimana dimaksud di atas (huruf a, b, dan c) yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada PTUN.[8]
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Bila berlanjut ke PTUN, maka peyelesaian sengketa proses pemilu di PTUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 470 UU Pemilu, bahwa sengketa proses pemilu yang diajukan melalui PTUN meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon peserta pemilu, atau bakal pasangan calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.[9]
Sengketa proses pemilu merupakan sengketa yang timbul antara:[10]
- KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu;
- KPU dan Pasangan Calon yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon; dan
- KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap.
Adapun tata cara penyelesaian sengketa proses pemilu melalui PTUN lebih lanjut diatur Pasal 471 UU Pemilu. Pengajuan gugatan atas sengketa proses pemilu ke PTUN dilakukan setelah upaya administrasi di Bawaslu telah digunakan.[11]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, dalam hal sengketa (perselisihan) hasil pemilu, maka lembaga yang berwenang menyelesaikan adalah MK. Tetapi, untuk sengketa proses pemilu, lembaga yang berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus penyelesaian sengketa proses tersebut adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pengajuan gugatan atas sengketa proses pemilu ke PTUN dilakukan setelah upaya administrasi di Bawaslu telah digunakan.
Sebagai tambahan informasi Anda dapat simak artikel Bisakah Pengadilan Selain MK Memutus Sengketa Hasil Pilpres?.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan kemudian diubah kedua kalinya oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan kemudian ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang;
Referensi:
Uu Nurul Huda. 2018. Hukum Partai Politik dan Pemilu di Indonesia. Bandung: Fokusmedia.
[1] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011
[2] Pasal 93 huruf b angka 2, Pasal 95 huruf d , Pasal 467 s.d. Pasal 471 UU Pemilu jo Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilihan Umum di Pengadilan Tata Usaha Negara (“PERMA 5/2017”)
[3] Pasal 1 angka 17 UU Pemilu
[4] Pasal 94 ayat (1) UU Pemilu
[5] Pasal 94 ayat (3) UU Pemilu
[6] Pasal 467 ayat (1) UU Pemilu
[7] Pasal 469 ayat (1) UU Pemilu
[8] Pasal 469 ayat (2) UU Pemilu
[9] Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu
[10] Pasal 470 ayat (2) UU Pemilu
[11] Pasal 471 ayat (1) UU Pemilu dan Pasal 2 ayat (2) PERMA 5/2017