Perceraian Pasangan Kawin Campur yang Berdomisili di Luar Negeri
Keluarga

Perceraian Pasangan Kawin Campur yang Berdomisili di Luar Negeri

Bacaan 6 Menit

Pertanyaan

Ada seorang perempuan Indonesia menikah dengan seorang pria asing berkewarganegaraan Prancis di Kantor Urusan Agama Bali. Setelah menikah mereka berdua tinggal di Prancis. Bila si perempuan ingin mengajukan gugatan perceraian, bagaimanakah cara mengurus gugatan perceraian perkawinan campuran tersebut? Apakah bisa menggugat melalui Pengadilan Agama Semarang? Berkas apa saja yang harus dipenuhi? Kemudian apakah diperlukan penerjemahan gugatan? Apakah gugatan juga harus diterjemahkan ke dalam bahasa prancis, atau bahasa inggris saja tidak apa-apa?

Intisari Jawaban

circle with chevron up
Dikarenakan penggugat dan tergugat bertempat tinggal di luar negeri, maka gugatan cerai hanya dapat diajukan kepada pengadilan agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Dalam gugatan perceraian harus dicantumkan alasan diajukannya permohonan perceraian, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Gugatan sendiri dibuat dalam bahasa Indonesia. Tidak ada kewajiban untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa asing.
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 
Perceraian
Sebelumnya, dikarenakan Anda tidak memberikan penjelasan mengenai di mana pasangan tersebut bertempat tinggal saat ini, kami asumsikan bahwa pasangan tersebut masih bertempat tinggal di luar negeri.
 
Perceraian hanya dapat terjadi apabila terdapat cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi. Hal tersebut tercantum pada Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), yang menyatakan bahwa:
 
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
 
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:[1]
  1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  2. salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
  3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
  5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
  6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
 
Namun demikian, sekalipun terdapat alasan untuk mengajukan perceraian, pengadilan harus terlebih dahulu berusaha mendamaikan suami istri. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyatakan bahwa:
 
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
 
Yang dimaksud dengan pengadilan dalam ketentuan tersebut adalah pengadilan agama bagi mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya.[2] Perlu dicatat bahwa walaupun salah satu atau para pihak sudah berpindah agama, proses perceraian tetap harus mengikuti hukum peradilan agama Islam, sebagaimana perkawinan tersebut sebelumnya tercatat.
 
Perceraian Para Pihak yang Tinggal di Luar Negeri
Sehubungan dengan tempat kedudukan suami atau istri di luar negeri, maka Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama), mengatur bahwa:
 
Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
 
Berdasarkan cerita Anda, pernikahan dilangsungkan dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) di Bali. Dengan demikian, gugatan cerai diajukan kepada pengadilan agama di kabupaten tempat pernikahan pasangan tersebut dicatat atau di Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Gugatannya sendiri dibuat dalam bahasa indonesia. Tidak ada kewajiban untuk menerjemahkannya dalam bahasa asing.
 
Alat Bukti Perceraian
Alat bukti yang harus disiapkan dalam mengajukan gugatan perceraian, termasuk perceraian untuk perkawinan campuran, mengikuti ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Alat bukti menurut hukum acara perdata Indonesia, berdasarkan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), adalah bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Namun, alat bukti yang diajukan harus terkait kuat dengan permasalahan hukum tersebut. Dalam hal mengajukan perceraian, pasangan yang hendak bercerai di antaranya harus menyiapkan surat gugatan cerai dan alat bukti terkait, antara lain buku nikah (asli dan salinan), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan Kartu Keluarga (KK).
 
Pemeliharaan Anak
Lebih lanjut, Pasal 86 ayat (1) Peradilan Agama menyatakan bahwa:
 
Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap.
 
Terkait pemeliharaan dan pendidikan anak, Pasal 41 huruf a UU Perkawinan mengatur bahwa:
 
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
 
Ketentuan UU Perkawinan menggunakan istilah “penguasaan anak”. Artinya, hubungan orang tua (baik ayah maupun ibu) dengan anak tidak putus karena terjadinya perceraian. Pengadilan akan memberi keputusan apabila ada perselisihan mengenai penguasaan anak.
 
Bapak adalah pihak yang bertanggung-jawab memenuhi semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Namun, apabila bapak tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.[3]
 
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), menyatakan bahwa:
 
Dalam hal terjadinya perceraian:
  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
  3. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

[1] Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan
[2] Pasal 63 ayat (1) UU Perkawinan
[3] Pasal 41 huruf b UU Perkawinan
Tags: