Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Imbauan untuk Tidak Mengadakan Pesta Perkawinan
Sebagaimana yang Anda terangkan, wabah COVID-19 mengurungkan niat Anda untuk melaksanakan pesta perkawinan yang telah direncanakan. Kami turut prihatin atas masalah yang Anda hadapi ini.
tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri, yaitu:
pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya yang sejenis;
kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazaar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga;
kegiatan olah raga, kesenian, dan jasa hiburan;
unjuk rasa, pawai, dan karnaval; serta
kegiatan lainnya yang menjadikan berkumpulnya massa.
Maka, rencana pembatalan pesta perkawinan Anda memang sesuai dengan imbauan tersebut, setidak-tidaknya dengan tidak mengumpulkan massa dalam jumlah banyak.
Wabah COVID-19 sebagai Alasan Force Majeur
Berdasarkan keterangan Anda, menurut hemat kami, di antara Anda dan vendor terdapat hubungan keperdataan, berupa perjanjian.
Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuan-ketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan kerja.
Subekti dalam bukunya
Aneka Perjanjian (hal. 57) sebagaimana dikutip dalam
Penitipan Anak Termasuk Perjanjian Apa? menjelaskan bahwa perjanjian untuk melakukan pekerjaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
perjanjian kerja/perburuhan; dan
perjanjian pemborongan pekerjaan.
Maka, antara Anda dan vendor terdapat perjanjian untuk melakukan jasa-jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan akad dan/atau resepsi Anda.
Meskipun terdapat imbauan yang telah kami terangkan di atas, menurut hemat kami, kedudukan wabah COVID-19 sebagai alasan force majeur atau keadaan yang memaksa perlu memperhatikan sejumlah hal.
Dalam KUH Perdata, force majeur diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi:
Pasal 1244 KUH Perdata
Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
Pasal 1245 KUH Perdata
Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
adanya kejadian yang tidak terduga;
adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
Sebab-sebab yang dapat menjadi alasan force majeur, meski dinyatakan secara tegas atau tidak tegas dalam perjanjian, namun yang harus diperhatikan adalah pelaksanaan prestasinya, bukan semata peristiwanya.
Maksudnya, jika prestasi dalam perjanjian sebenarnya bisa dilakukan melalui cara lain, maka sebenarnya wabah COVID-19 tidak dapat menjadi alasan force majeur.
Selain itu, diterangkan pula dalam artikel yang sama bahwa keadaan force majeur yang relatif atau sementara hanya menunda pelaksanaan perjanjian. Berbeda dengan force majeur yang sifatnya absolut yang mengakhiri perjanjian.
Artikel tersebut akhirnya memandang wabah COVID-19 sebagai force majeur relatif.
Dengan demikian, sekalipun terjadi wabah COVID-19, sebenarnya Anda tetap dapat melangsungkan pesta perkawinan setelah wabah berakhir dan pemerintah menyatakan kegiatan masyarakat dapat kembali normal.
Dengan memperhatikan Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata, Anda pada dasarnya tetap diharuskan untuk membayar biaya yang tersisa, sepanjang vendor masih berkomitmen memenuhi kewajibannya. Jika Anda mengakhiri/membatalkan perjanjian secara sepihak, Anda harus membayar penggantian biaya, kerugian, dan/atau bunga.
Untuk itu, menurut hemat kami, permasalahan pembatalan pesta perkawinan dan pengembalian uang muka tersebut perlu Anda rundingkan terlebih dahulu dengan vendor, guna mencari penyelesaian yang saling menguntungkan.
Mengenai pengembalian uang muka atau down payment (“DP”), setidak-tidaknya, dalam KUH Perdata tidak diatur larangan untuk meminta uang muka kembali jika prestasi dalam perjanjian jasa-jasa tertentu tidak dapat dilaksanakan atau perjanjian diakhiri/dibatalkan.
Adapun keberlakuan Pasal 1464 KUH Perdata yang mengatur tentang larangan pengembalian DP sendiri terbatas pada perjanjian jual beli benda. Sedangkan perjanjian untuk melakukan jasa tertentu, sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel
Penitipan Anak Termasuk Perjanjian Apa?, tidak terjadi perpindahan hak milik, sehingga tidak termasuk perjanjian jual beli.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: