Jika investor melakukan kerjasama pengelolaan lahan dengan PT yang bergerak di bidang perkebunan dan terdapat kontrak di antara mereka, lalu belakangan diketahui ternyata PT tersebut tidak memiliki izin usaha, bagaimana status dari kontrak kerjasama tersebut? Apakah batal demi hukum atau dapat dibatalkan?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Kata “belakangan” dalam pertanyaan Anda dapat dimaknai dengan suatu keadaan yang baru diketahui oleh pihak investor setelah perjanjian antara kedua belah pihak tersebut disepakati. Dalam hal ini telah terjadi cacat kehendak atas perjanjian yang telah dibuat tersebut yaitu suatu keadaan yang dapat menyebabkan diganggu-gugatnya perjanjian atau dapat dibatalkannya perjanjian (vernietigbaar).
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Syarat Sah Perjanjian
Keabsahan perjanjian menurut hukum Indonesia alat ujinya yaitu dengan menggunakan Pasal 1320 KUH Perdata. Suatu perjanjian dinyatakan sah bilamana ia memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal tersebut, yaitu:
kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
objek tertentu; dan
kausa yang diperbolehkan.
Dua syarat yang pertama merupakan syarat subjektif, karena berkaitan dengan pihak-pihak atau subjek yang melakukan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek dan tujuan dari dibuatnya perjanjian itu. Keempat syarat di atas harus dipenuhi secara keseluruhan (kumulatif), tak dipenuhinya salah satu atau lebih syarat tersebut mengancam keabsahan perjanjian itu sehingga ia dapat dibatalkan (vernietigbaar) atau batal demi hukum (nieteg van rechtswege). Suatu perjanjian yang dibatalkan atau batal demi hukum, tidak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana dikehendaki oleh para pihak, dan oleh karenanya tidak memberikan akibat hukum.[1]
Berkenaan dengan pertanyaan Anda di atas, terkait dengan status dari perjanjian kerjasama pengelolaan lahan yang dibuat antara investor dengan sebuah Perseroan Terbatas (PT) yang bergerak di bidang usaha perkebunan apabila belakangan diketahui bahwa PT tersebut tidak memiliki izin usaha maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kata “belakangan” dimaknai dengan suatu keadaan yang baru diketahui oleh pihak investor setelah perjanjian antara kedua belah pihak tersebut disepakati. Dalam hal ini telah terjadi cacat kehendak atas perjanjian yang telah dibuat tersebut yaitu suatu keadaan yang dapat menyebabkan diganggu-gugatnya perjanjian atau dapat dibatalkannya perjanjian (vernietigbaar).
Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Pihak investor merupakan pihak yang mengalami kesesatan/kekhilafan (dwaling) terhadap keadaan sesungguhnya dari PT tersebut. Kesesatan atau kekeliruan (dwaling) diatur lebih lanjut dalam Pasal 1322 KUH Perdata yang berbunyi:
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan.
Sehingga, suatu kesesatan dianggap terjadi apabila pernyataan sesuai dengan kehendak tetapi kehendak tersebut didasarkan atas gambaran yang keliru, baik mengenai orangnya (eror in persona) atau objeknya (eror in substantia). Dalam kasus ini, kesesatan yang dimaksud adalah mengenai orang (error in persona).
Menurut peradilan, kesesatan adalah gambaran yang keliru yang harus berkenaan dengan sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang bagi pihak yang tersesat mempunyai makna yang menentukan. Dengan kata lain, seandainya pihak yang tersesat tahu bahwa sebenarnya tidak ada sifat-sifat atau keadaan-keadaan yang dia kira ada, maka ia tidak akan menyepakati perjanjian atau setidak-tidaknya tidak akan menyepakati perjanjian dengan syarat yang sama.
Sebagaimana telah kami sampaikan, suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Dalam hal ini, kesesatan/kekhilafan ini berkaitan dengan syarat pertama mengenai kesepakatan, di mana adanya kesesatan menjadikan kehendak salah satu pihak cacat.
Dapat dibatalkannya suatu perjanjian dimaksudkan bahwa perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Selama belum terjadi pembatalan, maka perjanjian tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
Pihak investor mengalami kesesatan karena izin usaha yang merupakan suatu kewajiban bagi PT ternyata tidak dimiliki PT untuk menjalankan usaha di bidang perkebunan. Pasal 29 angka 12 UU Cipta Kerja yang mengubahPasal 42 UU Perkebunan menyatakan bahwa:
Kegiatan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan apabila telah mendapatkan hak atas tanah dan/atau izin Usaha Perkebunan.
Selanjutnya dipertegas dalam Pasal 29 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubahPasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan menyatakan bahwa:
Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki izin Usaha Perkebunan.
Setiap Perusahaan Perkebunan yang melakukan usaha budi daya Tanaman Perkebunan dengan luasan skala tertentu dan/atau usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
Berdasarkan ketentuan tersebut, PT yang bergerak di bidang usaha perkebunan wajib memiliki izin usaha untuk melaksanakan prestasi atas perjanjian yang telah dibuat dengan investor. Investor dapat melakukan upaya hukum untuk membatalkan perjanjian karena PT terkait ternyata tidak memiliki izin usaha yang dimaksud.