Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tata Cara Pengajuan Tuntutan Pidana dan Pembelaan (Pledoi) yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 4 Mei 2017.
Tuntutan Pidana dan Pembelaan (Pledoi)
M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) menjelaskan bahwa tuntutan pidana dan pembelaan dirangkai dalam satu pembahasan untuk memudahkan melihat kaitan antara kedua proses itu dalam pemeriksaan perkara. Tuntutan pidana penuntut umum selamanya saling berkaitan dengan pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum karena tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum maupun pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum pada hakikatnya merupakan “dialogis jawab-menjawab terakhir” dalam proses pemeriksaan (hal. 259).
Menurut hukum yang berlaku, aturan mengenai tuntutan pidana dan pembelaan adalah sebagai berikut:
[1]Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana;
Selanjutnya, terdakwa dan/atau penasihat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir;
Tuntutan, pembelaan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan, segera diserahkan kepada hakim ketua sidang, dan diserahkan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
Terhadap tuntutan pidana (rekuisitor) yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum berhak mendapat kesempatan mengajukan pembelaan. Atas pembelaan itu, penuntut umum berhak pula mengajukan jawaban atau replik. Setelahnya, terdakwa atau penasihat hukum berhak untuk mengajukan duplik atau jawaban kedua kali (rejoinder) (hal. 259).
Tata Cara Pengajuan Tuntutan Pidana, Pledoi, dan Jawab-Menjawab
Pengajuan tuntutan pidana dan pembelaan baru dapat dilakukan setelah terlebih dahulu ada pernyataan hakim ketua sidang bahwa pemeriksaan perkara telah selesai. Dengan kata lain, penuntutan dan pembelaan merupakan tahap lanjutan setelah pemeriksaan terhadap perkara dianggap selesai oleh ketua sidang. Berikut ini adalah tata cara pengajuan tuntutan pidana dan pembelaan:
Diajukan atas permintaan hakim ketua sidang
Walaupun tindakan penuntutan merupakan fungsi yang melekat pada instansi penuntut umum, fungsi tersebut baru dapat digunakan setelah ketua sidang meminta kepadanya untuk mengajukan penuntutan. Demikian halnya dengan pengajuan pembelaan. Walaupun merupakan hak yang melekat pada diri terdakwa atau penasihat hukum, giliran untuk mengajukan pembelaan disampaikan pada tahap tertentu setelah hakim memintanya untuk mengajukan pembelaan (hal. 260).
Mendahulukan pengajuan tuntutan dari pembelaan
Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, KUHAP telah menentukan giliran antara penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum dalam mengajukan tuntutan dan pembelaan maupun jawaban atas pembelaan. Giliran pertama diberikan kepada penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa (hal. 261)
Setelah mengajukan tuntutan, baru giliran terdakwa atau penasihat hukum mengajukan pembelaan atas tuntutan tersebut (hal. 261).
Menyinggung pertanyaan Anda, Yahya menyatakan bahwa memberikan giliran pertama kepada penuntut umum untuk mengajukan tuntutan adalah logis. Bukankah pembelaan yang akan diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum erat sekali hubungannya dengan tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut umum? Kalau terdakwa atau penasihat hukum yang diberi giliran pertama, bagaimana ia dapat mengajukan pembelaan atas sesuatu yang belum diketahui letak masalah dan peristiwa yang dituntutkan kepadanya? (hal. 261)
Alasan kenapa pembelaan terdakwa ditempatkan setelah penuntut umum mengajukan tuntutan adalah agar ia dapat menanggapi selengkapnya dasar-dasar dan alasan yang dikemukakan penuntut umum dalam tuntutannya (hal. 261).
Jawab-menjawab dengan syarat terdakwa mendapat giliran terakhir
Giliran terakhir untuk menjawab diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukum merupakan syarat dalam jawab-menjawab. Selama penuntut umum masih diberikan kesempatan untuk menjawab atau menanggapinya, selama itu pula terdakwa atau penasihat hukum harus diberikan kesempatan yang sama, kecuali mereka sendiri tidak mempergunakan hak tersebut (hal. 261).
Tuntutan, pembelaan, dan jawaban dibuat secara tertulis
Bentuk tuntutan pidana, pembelaan, dan semua jawaban yang berhubungan dengan penuntutan dan pembelaan dibuat dengan cara tertulis. Setelah itu dibacakan dan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
Pembelaan dibuat sekurang-kurangnya rangkap dua di mana aslinya diserahkan kepada ketua sidang setelah selesai dibacakan. Turunan tuntutan dan jawaban penuntut umum diserahkan ke terdakwa atau penasihat hukum. Sebaliknya, turunan pembelaan dan jawabannya juga diserahkan ke penuntut umum oleh terdakwa atau penasihat hukum (hal. 262).
Pengecualian bagi terdakwa yang tidak pandai menulis
Bagi terdakwa yang tidak pandai menulis, maka pembelaan dan jawaban dapat dilakukan secara lisan di persidangan dan dicatat oleh panitera dalam berita acara sidang.
[2]
Biar makin paham, kami sudah merangkum artikel ini dalam infografis berikut:
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
[1] Pasal 182 ayat (1) KUHAP
[2] Penjelasan Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP dan Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 262