Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha
Kami katakan berpotensi, karena rezim hukum persaingan usaha menggunakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan perse illegal dan rule of reason.
Andi Fahmi Lubis dalam buku Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks menerangkan bahwa per se illegal adalah suatu metode pendekatan yang menganggap tindakan tertentu sebagai ilegal, tanpa menyelidiki lebih lanjut mengenai dampak tindakan tersebut terhadap persaingan. Ciri khas pasal perse illegal adalah dicantumkannya kata “dilarang” (hal. 89).
Sedangkan rule of reason adalah suatu pendekatan yang menggunakan analisis pasar serta dampaknya terhadap persaingan, sebelum dinyatakan sebagai melanggar undang-undang. Adanya klausula “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga” menunjukan keharusan penggunaan pendekatan rule of reason (hal. 89).
Namun, dikotomi pendekatan tersebut tidak diterapkan secara ketat dalam praktik oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”), yaitu komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
[1]
Hal ini mengingat adanya ketentuan Pasal 35 huruf a dan b UU 5/1999 yang menyatakan bahwa tugas KPPU, antara lain, adalah menilai semua perjanjian maupun kegiatan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Oleh karena itu, lanjut Andi Fahmi Lubis, KPPU-lah yang memiliki kewenangan untuk menggunakan secara alternatif salah satu dari kedua pendekatan yang berbeda secara ekstrem tersebut (hal. 89).
Dari kasus pemberian hak eksklusif kepada PT. Pos Indonesia oleh pemerintah sebagaimana dijelaskan, ketentuan pasal yang paling mendekati berpotensi dilanggar adalah Pasal 19 huruf d UU 5/1999 yang berbunyi:
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
…
…
…
melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Andi Fahmi Lubis selanjutnya menerangkan dalam buku yang sama bahwa indikasi dilakukannya kegiatan-kegiatan sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 19 huruf d, antara lain (hal. 187):
adanya perlakuan istimewa yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu; dan/atau
perlakuan istimewa tersebut sama sekali tidak berdasarkan pertimbangan yang beralasan.
Penunjukan PT. Pos Indonesia sebagai satu-satunya pelaku usaha logistik dan kurir dalam hal pengiriman berkas lowongan Calon Pegawai Negeri Sipil (“CPNS”) dapat dikatakan sebagai perlakuan istimewa oleh pemerintah yang tidak berdasarkan pertimbangan alasan.
Pertimbangan beralasan yang dimaksud, menurut hemat kami, misalnya tanpa justifikasi hukum, sosial, ekonomi, atau teknis. Dengan demikian, tindakan pemerintah tersebut berpotensi melanggar ketentuan Pasal 19 huruf d UU 5/1999.
Dikatakan berpotensi, karena jika dilihat rumusan pasal tersebut terdapat klausula “yang dapat mengakibatkan”, yang mengindikasikan pendekatan secara rule of reason, yaitu melakukan analisis dampak untuk dapat menyatakan suatu tindakan atau kegiatan bersalah atau tidak. Maka, tidak semata-mata hanya dengan memenuhi unsur-unsur ketentuan pasal dimaksud, suatu tindakan atau kegiatan langsung dapat dinyatakan melanggar Pasal 19 huruf d UU 5/1999.
Pemerintah sebagai Pelaku Usaha
Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan dalam kasus ini adalah apakah kapasitas pemerintah dalam tindakan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tindakan “pelaku usaha”? Karena ketentuan Pasal 19 huruf d UU 5/1999 secara tegas mencantumkan frasa “pelaku usaha” sebagai salah satu unsur untuk dapat memenuhi kriteria pelanggaran pasal tersebut.
Definisi pelaku usaha dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 UU 5/1999 yang berbunyi:
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan ataupun melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Menurut hemat kami, yang dimaksud dengan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi sama dengan kegiatan “bisnis”. Bisnis atau dalam bahasa Inggris, “business”, menurut Sally Wehmeier (ed.) dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary memiliki arti (hal. 202):
the activity of making, buying, selling or supplying goods or services for money
Jika diterjemahkan bebas, yang termasuk sebagai bisnis adalah kegiatan membuat, membeli, menjual atau mensuplai barang atau jasa untuk sejumlah uang.
Dengan demikian, kegiatan pemerintah dalam pembukaan lowongan CPNS bukan merupakan kegiatan bisnis atau kegiatan usaha dalam bidang ekonomi, sehingga tidak memenuhi kategori pelaku usaha sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 huruf d UU 5/1999.
Kegiatan pembukaan lowongan CPNS oleh pemerintah merupakan tindakan dalam melaksanakan administrasi pemerintahan, sehingga masuk dalam ranah hukum administrasi negara, bukan hukum persaingan usaha. Oleh karena itu, pemberian hak eksklusif kepada PT. Pos Indonesia oleh pemerintah tidak melanggar hukum persaingan usaha sebagaimana diatur oleh UU 5/1999.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Andi Fahmi Lubis, et.al. Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks, Edisi ke-2, Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2017;
Sally Wehmeier (ed.). Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Seventh Edition, Oxford: Oxford University Press, 2009.
[1] Pasal 1 angka 18 UU 5/1999