5 Catatan YLKI Terkait Polemik Minyak Goreng
Utama

5 Catatan YLKI Terkait Polemik Minyak Goreng

Pada awal Februari 2022, YLKI telah melakukan petisi online yang ditujukan kepada KPPU agar Lembaga ini lebih gesit dalam upaya mengendus adanya dugaan persaingan usaha tidak sehat di minyak goreng.

Willa Wahyuni
Bacaan 3 Menit
Warga mengantre untuk membeli minyak goreng murah. Foto: RES
Warga mengantre untuk membeli minyak goreng murah. Foto: RES

Tingginya harga minyak goreng tengah menjadi sorotan. Hal ini terhitung sejak kuartal ketiga tahun 2021 hingga awal tahun 2022. Di tengah mahalnya harga minyak goreng, pemerintah membuat beberapa kebijakan yang nyatanya membuat bias ke masyarakat dan berdampak pada kelangkaan produk, sehingga terjadi panic buying impact ke masyarakat.

Sejatinya, Pasal 4 huruf (b) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah memberikan kepastian hukum untuk konsumen menerima barang dan/atau jasa yang dibelinya sesuai dengan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Namun nyatanya beberapa pelaku usaha dan perusahaan ritel diduga melakukan penimbunan produk minyak goreng.

Melihat hal ini, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan persoalan ini tidak hanya terjadi di hilir tetapi perlu dilihat dari hulunya.

“Persoaan hulu adalah persoalan pasar atau persaingan, kita bisa lihat apakah ada dugaan kartel atau oligopoli dan bentuk persaingan tidak sehat lainnya. Sedangkan soal hulunya, pemerintah dinilai tidak efektif dalam menentukan kebijakan satu harga karena komoditas minyak goreng yang tidak dikuasai pemerintah,” ujarnya pada sesi diskusi Senin (1/3). (Baca: Ombudsman: Tingkat Kepatuhan Terhadap Aturan HET Minyak Goreng Rendah)

Pada awal Februari 2022, YLKI telah melakukan petisi online yang ditujukan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). YLKI melayangkan petisi ini dan mendesak KPPU agar lebih gesit dalam upaya mengendus adanya dugaan persaingan usaha tidak sehat di minyak goreng.

“Petisi ini sudah ditandatangani oleh 5.300 lebih penandatangan yang kami tujukan kepada KPPU, karena dalam hal ini KPPU merupakan wasit agar bergerak cepat membongkar praktik tidak sehat,” jelasnya.

Dalam sesi diskusi tersebut, YLKI melayangkan lima catatan terkait polemik minyak goreng terhadap pemerintah.

Pertama, persoalan hulu yang belum terungkap. Pemerintah dinilai tidak menguasai persoalan minyak goreng, karena pemerintah tidak memegang barangnya, berbeda dengan beras yang memiliki lembaga pemerintah yang mengaturnya yaitu bulog, sedangkan minyak goreng dipegang oleh swasta.

Persoalan hulu harus di kulik, karena indikator tersebut mengkhawatirkan bisnis Crude Palm Oil (CPO) dan minyak goreng, yang ditengarai dipegang oleh produsen besar yang sama, sehingga berpotensi adanya praktek persaingan tidak sehat.

Kedua, Masyarakat masih mengantri untuk mendapatkan minyak goreng yang artinya kekacauan ini belum pulih. YLKI telah melakukan survei terhadap keberadan ketersedian minyak goreng di kawasan Jabodetabek yg hasilnya hanya 10% yang menyediakan minyak goreng yang ditetapkan sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Ketiga, Pemerintah kurang mengantisipasi adanya fenomena global bisnis CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Di satu sisi Indonesia penghasil CPO terbesar, tapi nyatanya ada beberapa poin yang tidak diantisipasi bahwa harga ditentukan bukan oleh Indonesia tetapi oleh negara lain.

Keempat, Adanya bahan baku CPO untuk sektor energi. Saat ini Pemerintah sedang getol membuat kebijakan B30 untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan dan untuk mengurangi defisit neraca perdagangan.

Kebijakan pemerintah ini harus terintegrasi dan komprehensif. CPO dijadikan sebagai bahan bakar nabati, di sisi lain hal ini baik namun menggunakan CPO untuk sektor energi akhirnya mengalahkan bahan baku CPO untuk minyak goreng. Dampaknya seperti saat ini, karena pengusaha CPO lebih ingin menjual CPO ke sektor energi karena ada pemberian insentif dari pemerintah.

Kelima, Intervensi harga yang ditetapkan pemerintah tidak mengatasi persoalan karena hulunya bermasalah.

Tags:

Berita Terkait