Alasan Walhi Minta Pidana Lingkungan Hidup Dikeluarkan dari RKUHP
Terbaru

Alasan Walhi Minta Pidana Lingkungan Hidup Dikeluarkan dari RKUHP

RUU KUHP tidak mengatur sanksi minimum untuk pelanggaran pidana lingkungan hidup. Sanksi yang diberikan RUU KUHP lebih rendah dari sanksi yang diatur dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI, Puspa Dewy. Foto: ADY
Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI, Puspa Dewy. Foto: ADY

Kalangan masyarakat sipil kembali menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap substansi yang diatur RUU KUHP terutama terkait lingkungan hidup. Kepala Divisi Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI, Puspa Dewy, mengatakan RUU KUHP melemahkan sanksi dan penegakan hukum lingkungan hidup. Pasal 344-345 RUU KUHP tidak mengatur sanksi minimum terhadap pelanggaran hukum lingkungan hidup. Bahkan sanksi maksimal yang dikenakan hanya Rp3 miliar.

“Sanksi yang diberikan RUU KUHP terhadap pelanggaran hukum lingkungan hidup lebih rendah dibandingkan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Dewy dalam diskusi bertema RUU KUHP Melindungi Penjahat Lingkungan, Kamis (18/8/2022) kemarin.

Baca Juga:

Dewi memberikan contoh pelanggaran untuk pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dalam RUU KUHP diancam pidana paling lama 9 tahun penjara atau denda paling banyak kategori VI (Rp2 miliar). Padahal Pasal 98 UU No.32 Tahun 2009 mengatur setiap orang yang sengaja melakukan kerusakan lingkungan hidup dipenjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Menurut Dewy, sanksi yang rendah itu menguntungkan pelaku kejahatan lingkungan hidup, terutama yang dilakukan oleh korporasi. Pelaku usaha diberi keringanan untuk memilih sanksi yang akan dikenakan apakah penjara atau membayar denda yang tidak diatur batas minimalnya. Ketentuan ini masih membuka ruang besar bagi korporasi melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.

Tak berhenti disitu, selain memberikan angin segar bagi pelaku kejahatan lingkungan hidup, Dewy menyebut potensi kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan lingkungan hidup yang bersih dan sehat juga semakin besar. “Kami mendesak pidana lingkungan hidup dikeluarkan dari RUU KUHP. Lebih baik fokus diatur dalam UU No.32 Tahun 2009,” pintanya.

Minimnya sanksi untuk pelaku kejahatan lingkungan hidup dalam RUU KUHP menurut Dewy tidak akan memberi efek jera. Ketentuan itu malah membuat krisis lingkungan hidup di Indonesia semakin parah, termasuk perampasan ruang hidup rakyat.

Dalam RUU KUHP Dewy tidak melihat ada iktikad baik pemerintah untuk memulihkan kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Bersama UU lainnya seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, semakin mempertegas arah kebijakan yang menempatkan masyarakat hanya sebagai objek.

Kemudahan investasi yang diberikan melalui UU Cipta Kerja mempersempit ruang partisipasi masyarakat dalam amdal. Ketika memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat terancam pidana melalui Pasal 162 UU Minerba. Sekalipun pelaku kejahatan lingkungan hidup dijerat pidana, RUU KUHP memberikan sanksi yang ringan. “RUU KUHP memberikan karpet merah bagi penjahat lingkungan hidup sanksi yang dijatuhkan sangat lemah tapi pemberian izin dipermudah. Ini melanggengkan kelompok oligarki untuk mencemari dan merusak lingkungan hidup,” katanya.

Tags:

Berita Terkait