Aliansi Nasional Reformasi KUHP Sampaikan 23 Isu Krusial RKUHP
Utama

Aliansi Nasional Reformasi KUHP Sampaikan 23 Isu Krusial RKUHP

Mulai living law, harmonisasi delik, hingga perlunya penekanan RKUHP sebagai kodifikasi.

Rofiq Hidayat
Bacaan 9 Menit

“Perluasan ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan dan overkriminalisasi,” ujarnya.

Kelimabelas, kriminalisasi pencabulan sesama jenis diatur dalam Pasal 420 RKUHP. Dalam draf September 2019, disebutkan setiap orang yang melakukan perbuatan cabul yang berbeda atau sama jenisnya. Padahal syarat-syarat yang dapat mengkiriminalisasi pencabulan sesama jenis telah terpenuhi dalam syarat pasal pencabulan. Bagi Aliansi, penyebutan secara spesifik “sama jenisnya” merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual yang semakin rentan untuk dikriminalisasi orientasi seksualnya.

Keenambelas, pasal kriminalisasi mempertunjukkan alat pencegahan kehamilan dalam Pasal 414-415 RKUHP. Ketujuhbelas, menggelandang dipidana dengan Pasal 432 RKUHP. Bagi Aliansi, pengaturan menggelandang cukup diatur secara administratif di tingkat peraturan daerah (Perda), dan tak perlu menjadi bahasan RKUHP. Kedelapanbelas, sinkronisasi aturan kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan pengguguran sebagaimana diatur Pasal 469-471 dan Pasal 251 serta 415 RKUHP.

Bagi Isnur, pengeculian sudah dimuat untuk perempuan yang melakukan aborsi atas dasar kedaruratan medis dan karena perkosaan. Namun korban yang menderita kehamilan tak hanya korban perkosaan, tapi kekerasan atau eksploitasi seksual lainnya, sehingga pengecualiannya perlu ditegaskan untuk korban kekerasan seksual. Pengecualian tersebut harus disinkronkan dengan Pasal 251 RKUHP tentang memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan.

Sedangkan Pasal 415 tentang mempertunjukkan suatu alat untuk menggugurkan kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat untuk menggugurkan kandungan. “Harusnya ketentuan Pasal 415 dan Pasal 251 tidak perlu diatur dengan adanya pengecualian dalam Pasal 467 ayat (2) RKUHP,” ujarnya.

Anggota Aliansi lain, Julius Ibrani melanjutkan poin berikutnya. Kesembilanbelas, pengaturan tindak pidana narkotika. Menurutnya, stigma narkotika sebagai masalah kriminal bukanlah masalah kesehatan. Diakomodirnya tindak pidana narkotika dalam RKUHP menunjukan negara dalam penanganan tindak pidana narkotika dengan pendekatan pidana. Padahal banyak negara di dunia telah memproklamirkan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan masyarakat.

“RKUHP masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009, tidak ada perbaikan yang lebih memadai. Padahal jika menelisik UU 35/2009 tentang Narkotika masih banyak terdapat ketimpangan didalamnya, apalagi saat ini juga sedang dirumuskan RUU Narkotika tersebut,” kata Julius.

Keduapuluh, tindak pidana pelanggaran HAM berat tidak sesuai dengan standar HAM internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 598-599 RKUHP. Bagi pria yang biasa disapa Ijul itu, memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif.

Selain itu, RKUHP tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai daluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM. Begitu pula pengaturan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya. Seperti terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya yang tidak mampu dijangkau RKUHP.

Keduapuluh satu, harmonisasi delik dalam RKUHP. Khususnya berkaitan dengan UU ITE yang rumusan deliknya telah masuk dalam RKUHP, namun belum dicabut dalam ketentuan penutup RKUHP. Setidaknya terdapat rumpang tindih antara RKUHP dengan UU ITE. Seperti penyebaran konten melanggar kesusilaan dalam Pasal 412 dan Pasal 413 RKUHP dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE.

Kemudian, penghinaan dalam Pasal 439 ayat (2) dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, hingga penyiaran berita bohong Pasal 262 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 263 RKUHP dengan ide kriminalisasi berita bohong baru dalam proses revisi UU ITE. “Seharusnya dalam aturan peralihan mencabut ketentuan dalam UU ITE yang menduplikasi pengaturan dalam RKUHP,” ujarnya.

Keduapuluh dua, harmonisasi delik dalam RKUHP berkaitan dengan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Menurutnya, UU 12/2022 memperluas cakupan TPKS melalui Pasal 4 ayat (2). Dengan begitu, tak hanya mencakup delik-delik yang secara khusus dirumuskan dalam UU tersebut, tapi juga mengkualifikasikan delik-delik lain di luar UU 12/2022 sebagai TPKS.

Terpenting, bila RKUHP diundangkan, tindak pidana yang dirumuskan RKUHP bakal bertindak sebagai tindak pidana baru dalam kerangka legislasi Indonesia. Oleh karena itu, khusus delik-delik yang memiliki irisan dengan TPKS, seperti seperti perkosaan, perbuatan cabul, pemaksaan aborsi dan lainnya, RKUHP perlu menegaskan ulang sebagai TPKS agar mekanisme yang disusun UU TPKS dapat diberlakukan terhadap delik-delik tersebut sesuai mekanisme Pasal 4 ayat (2) huruf j UU 12/2022.

Keduapuluh tiga, pentingnya penekanan RKUHP sebagai kodifikasi. Menurutnya, Penjelasan Umum RKUHP memaparkan posisi penting RKUHP sebagai rekodifikasi hukum pidana untuk menyelaraskan perkembangan berbagai ketentuan pidana sejak kemerdekaan Indonesia baik dalam konteks asas maupun rumusan delik. Meski demikian, tak satu pun batang tubuh RKUHP yang menjelaskan konsekuensi pengesahan RKUHP terhadap upaya mengkonsolidasikan hukum pidana dalam bentuk kodifikasi.

Baginya, ketidaaan pengaturan tersebut bakal membuka kemungkinan diulangnya kesalahan sama. Bahkan setelah RKUHP disahkan. Seperti kecenderungan pemerintah dan DPR menciptakan ketentuan pidana baru hampir di setiap UU. Serta tidak melihat proses pembangunan hukum pidana sebagai sistem yang terkodifikasi. Akibatnya, Indonesia memiliki masalah serius dalam menyelaraskan keseriuusan tindak pidana dan berat ringannya ancaman pidana.

“Oleh karena itu, perlu dirumuskan ketentuan yang menegaskan konsekuensi pengesahan RKUHP terhadap proses kriminalisasi (terhadap suatu perbuatan) yang akan dilakukan di kemudian hari. Nantinya, RKUHP dijadikan pedoman dalam melakukan kriminalisasi baik dalam konteks perumusan asas, unsur-unsur delik, ataupun penentuan ancaman pidananya,” kata Ijul yang juga menjabat Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) itu.

Tags:

Berita Terkait