Andri Rizki Putra, Millennial Lawyer yang Having Fun jadi Aktivis Sosial
Utama

Andri Rizki Putra, Millennial Lawyer yang Having Fun jadi Aktivis Sosial

Seimbang dalam berkarier, bersenang-senang, dan berkontribusi bagi masyarakat luas.

Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Dari Pengalaman Pahit ke Karya Konkret

Rizki mengaku sengaja mengambil cuti kantor selama sehari demi mengisi beberapa acara sosial termasuk sesi wawancara dengan hukumonline. Sembari santap siang di restoran masakan khas Aceh kesukaannya, Rizki menjelaskan bagaimana dirinya terjun sebagai aktivis sosial sambil berprofesi corporate lawyer.

 

Rizki diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia(FHUI) pada tahun 2008 dengan ijazah pendidikan kesetaraan paket C. Masa SMA dijalaninya hanya setahun. Hal itu karena Rizki tidak menjalani pendidikan di sekolah formal yang berdurasi tiga tahun.

 

Ia belajar secara mandiri sejak lulus SMP pada tahun 2006 dan berhasil lulus ujian nasional setara SMA pada tahun 2007. Selanjutnya Rizki kembali belajar mandiri untuk seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri tahun 2008. “Gue cuma pilih FHUI. Kalau nggak keterima ya coba lagi tahun depan. Nothing to lose. Kan gue hemat setahun juga,” katanya diiringi tawa renyah.

 

Capaiannya tak berhenti di situ. Rizki satu dari segelintir alumnus FHUI yang berhasil lulus hanya dalam tiga tahun masa studi sekaligus berpredikat cum laude. Semasa kuliah pun ia menyabet penghargaan mahasiswa berprestasi dari FHUI. Tak heran ia menerima beasiswa studi selama kuliah.

 

Berbagai akselerasi studi tersebut bermula dari kekecewaan Rizki pada ujian nasional yang diwarnai kecurangan. Pihak sekolah tempatnya mengenyam pendidikan  menengah diduga membagikan kunci jawaban ujian nasional kepada para siswa. Rizki menolak keras dan tetap lulus ujian dengan kemampuannya sendiri.

 

(Baca juga: Di Era Industri 4.0, Lawyer Berkompetisi Sengit dengan Robot)

 

Ia sempat melawan dan berupaya melaporkan kecurangan itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi serta Indonesia Corruption Watch. Rizki juga tak lagi berminat pada sekolah formal. Pilihan ini  membuatnya putus sekolah. Di sisi lain ia tetap ingin melanjutkan pendidikannya. Jalan satu-satunya adalah mengikuti ujian kesetaraan paket C. “Gue pikir akan membuktikan berbeda. Gue baca di peraturannya kalau pemerintah mengakui ijazahnya,” ia menuturkan. Tekadnya saat itu adalah menjadi lulusan paket C yang diterima di perguruan tinggi negeri.

 

Semestinya Rizki tetap bisa mengikuti bimbingan belajar di program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebelum mengambil ujian paket C. Namun ia kesulitan untuk mendapatkan PKBM yang berkualitas baik. Itu sebabnya ia memilih belajar mandiri secara intensif selama setahun dan langsung mengambil ujian paket C. “Dulu gue bertekad kalau bisa masuk UI akan bikin lembaga pendidikan paket C yang berkualitas,” ujarnya. Pengalaman dan perenungannya membawa Rizki pada pilihan berkuliah di FHUI.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait