Asuransi TKI Beralih Menjadi Jaminan Sosial, Begini Aturannya
Berita

Asuransi TKI Beralih Menjadi Jaminan Sosial, Begini Aturannya

Jaminan sosial untuk TKI berlaku mulai 1 Agustus 2017.

Oleh:
Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Kantor BPJS Ketenagakerjaan. Foto: RES
Terhitung sejak 31 Juli 2017 asuransi TKI yang dikelola konsorsium sejumlah perusahaan asuransi, resmi berakhir. Per 1 Agustus 2017 asuransi TKI bertransformasi menjadi jaminan sosial TKI yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Perubahan ini dimaksudkan agar pengelolaan asuransi TKI lebih baik.

Perubahan itu termaktub dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia. Perubahan ini sebenarnya tidak terlalu mengejutkan karena Pemerintah dan DPR sudah sejak lama mendorong keterlibatan BPJS. (Baca juga: Pemerintah-DPR Dorong BPJS Ketenagakerjaan Kelola Asuransi TKI).

Permenaker mewajibkan calon buruh migran yang akan berangkat ke luar negeri terdaftar dalam program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS. Jenis jaminan sosial yang dimaksud yakni Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) serta Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan.

Pelaksana penempatan seperti PPTKIS/PJTKI wajib mengikutsertakan calon TKI dalam program JKK dan JKM. Begitu pula dengan calon TKI perseorangan. Program JHT merupakan pilihan yang dapat diikuti calon TKI. Besaran iuran JKK dan JKM untuk calon TKI oleh pelaksana penempatan Rp370 ribu dan Rp333 ribu untuk calon TKI perseorangan. Bagi calon TKI melalui pelaksana penempatan, iuran JKK dan JKM di bayar secara bertahap yakni sebelum penempatan, selama dan setelah penempatan. Tapi untuk calon buruh migran perseorangan harus membayar semua iuran sekaligus.

Manfaat JKK bisa diterima buruh migran pada masa sebelum dan setelah penempatan. Pelayanan kesehatan program JKK diberikan sesuai kebutuhan medis diantaranya pemeriksaan, rawat inap, pengobatan dan rehabilitasi medik. Pelayanan kesehatan itu dilaksanakan di fasilitas kesehatan (faskes) yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Jika di daerah yang bersangkutan belum ada faskes yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan, pelayanan diberikan pada faskes terdekat.

Buruh migran harus siap-siap merogoh kocek jika mengalami kecelakaan kerja di tempat yang faskesnya belum bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan karena dia harus menanggung terlebih dulu biayanya. Setelah itu buruh migran tersebut meminta biaya pengganti kepada BPJS Ketenagakerjaan. Besaran biaya yang diganti BPJS Ketenagakerjaan itu mengacu peraturan perundang-undangan.

Selain itu buruh migran yang mengalami kecelakaan kerja pada masa sebelum dan setelah penempatan mendapat manfaat berupa santunan dalam bentuk uang. Salah satunya beasiswa pendidikan atau pelatihan kerja untuk 1 orang anak peserta, ini bagi peserta yang mengalami cacat total tetap atau meninggal. Santunan tersebut dibayar secara tahunan, besarannya berdasarkan tingkat pendidikan anak peserta.

Manfaat program kecelakaan kerja bagi TKI pada masa penempatan hanya diberikan dalam bentuk santunan berupa uang. Misalnya, santunan kematian akibat kecelakaan kerja sebesar Rp85 juta. (Baca juga: Isu-Isu Perburuhan Populer Selama 2015).

Untuk manfaat program JKM diberikan kepada ahli waris TKI apabila peserta meninggal dunia dalam masa kepesertaan aktif. Manfaat JKM sebelum dan sesudah masa penempatan diberikan dalam bentuk santunan berupa uang meliputi santunan kematian (Rp16.200.000), berkala (Rp4.800.000) dan biaya pemakaman (Rp3 juta). Tiga jenis santunan itu juga diterima peserta JKK sebagai manfaat pada masa penempatan tapi besarannya Rp85 juta, ditambah beasiswa pendidikan atau pelatihan kerja bagi 1 orang anak peserta.

Bagi buruh migran yang ikut program JHT, manfaat yang diterima berupa seluruh akumulasi iuran yang disetor berikut hasil pengembangannya. Manfaat itu diberikan kepada TKI yang masa perjanjian kerjanya berakhir; meninggal dunia; cacat total tetap; mengalami pemutusan hubungan kerja; atau menjadi warga negara asing. (Baca juga: DJSN Minta BPJS Ketenagakerjaan Tingkatkan Manfaat Peserta).

TKI yang perjanjian kerjanya berakhir bisa melanjutkan kepesertaan jaminan sosial dengan skema peserta penerima upah (PPU) atau peserta bukan penerima upah (PBPU). Kepesertaan itu bisa berlanjut jika TKI sudah kembali ke Indonesia.

Penting diingat, ada masa daluarsa manfaat JKK jika TKI tidak melakukan pengajuan klaim dalam waktu 24 bulan sejak terjadinya kecelakaan kerja. Tapi ketentuan itu tidak berlaku untuk santunan beasiswa pendidikan atau pelatihan kerja.

BPJS Ketenagakerjaan wajib membayar manfaat JKK kepada yang berhak paling lama 7 hari kerja sejak laporan kecelakaan kerja diterima serta persyaratan teknis dan administratif klaim JKK dipenuhi. Untuk manfaat JKM, BPJS Ketenagakerjaan membayar klaim paling lama 3 hari sejak dipenuhinya persyaratan dan administratif secara lengkap dan benar. Terakhir, program JHT dibayar kepada peserta sekaligus. Jika peserta meninggal dunia, manfaat dibayar kepada ahli warisnya.

Jika terjadi perselisihan sebelum atau sesudah penempatan mengenai kecelakaan kerja dan besarnya program JKK yang ditetapkan BPJS Ketenagakerjaan, buruh migran bisa meminta penetapan kepada pengawas ketenagakerjaan. Pengawasan program jaminan sosial TKI dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan.

Walau asuransi TKI sudah dialihkan menjadi jaminan sosial TKI, bukan berarti konsorsium asuransi TKI yang ada selama ini lepas tanggungjawab. “Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, konsorsium asuransi TKI tetap bertanggungjawab terhadap pembayaran klaim asuransi TKI sampai berakhirnya masa pertanggungan,” begitu bunyi pasal 44 Permenaker.

Terakhir, terbitnya Permenaker ini mencabut Permenakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Kemudian, Permenakertrans No. 1 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Permenakertrans No. 7 Tahun 2010.
Tags:

Berita Terkait