Bahasa dalam Lensa Hukum: Analogi DNA pada Teks Linguistik
Resensi

Bahasa dalam Lensa Hukum: Analogi DNA pada Teks Linguistik

Referensi bagi mereka yang ingin memahami forensik linguistik.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Kisah pembunuhan seorang perempuan dan bayinya di Notting Hill pada 1950-an bukan saja menggemparkan masyarakat sekitar, tetapi menggugah rasa ingin tahu seorang ahli bahasa bernama Jan Startvik. Polisi mencurigai Timothy John Evans sebagai pelaku pembunuhan. Penyidik kepolisian Notting Hill mewawancarai pria yang tak lain adalah suami korban.

 

Profesor Startvik menganalisis pernyataan-pernyataan yang diberikan Evans. Dari situlah ia menyimpulkan ada dua gaya yang dipakai: gaya menulis yang teredukasi dan gaya menulis berbicara. Hasil pekerjaan Profesor Startvik menganalisis pernyataan-pernyataan tersangka itulah yang kemudian berkembang dalam dunia peradilan, dan dikenal sebagai linguistik forensik. Di Australia, pemanfaatan sosiolinguistik dan aplikasi linguistik dipakai untuk menganalisis pemahaman suku Aborigin terhadap pertanyaan-pertanyaan polisi dalam bahasa Inggris. Analisis itu dilakukan karena adanya perbedaan dialek dan pemahaman antara orang yang diperiksa dan orang yang memeriksa.

 

Demikianlah ilmu forensik linguistik berkembang, dan semakin banyak dipergunakan dalam kasus hukum. Bagi pembaca yang ingin meneruskan kajian ini mungkin dapat membaca buku antara lain karya Roger Shuy (Language Crime: the Use and Abuse of Language Evidence in the Courtroom, 1993),Gerald R. McMenamin (Forensic Linguistic: Advantages in Forensic Stylistic, 2002), dan John Olsson (Forensic Linguistics: an Introduction to Language, Crime and the Law, 2004).

 

Di Indonesia, linguistik forensik juga belum terlalu berkembang. Salah satu kasus yang memunculkan perdebatan tentang pernyataan seseorang di ranah hukum adalah perkara mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kata-kata ‘dibohongin pakai surat Al Maidah 51’ yang diucapkan Ahok telah menyeretnya ke kasus hukum, dan akhirnya dihukum penjara. Sejumlah ahli bahasa dihadirkan di persidangan, dan memberikan keterangan yang berbeda. Ada yang menganggap kasus ini masuk kajian linguistik forensik, ada yang menganggap sebaliknya. Terlepas dari kebenaran yang hakiki, kasus ini memperlihatkan relasi yang kuat antara bahasa dan hukum.

 

Baca juga:

 

Mahsun, Guru Besar  Bidang Linguistik di Universitas Mataram, termasuk yang berjasa mengembangkan relasi linguistik dengan hukum lewat karyanya ‘Linguistik Forensik, Memahami Forensik Berbasis Teks dengan Analogi DNA’ (2018). Ilmu ini berguna dan sering dimanfaatkan oleh penyidik ketika ingin memahami teks dalam catatan permintaan tebusan dari pelaku penculikan, pesan teks dalam telepon genggam baik dalam bentuk pesan singkat (SMS) atau Whatsap, teks surat bunuh diri, dan teks wawancara (hal. 29).

 

Jika sering mengikuti perkembangan sidang perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Tipikor, Anda akan menyadari tentang analisis pada teks tertentu juga dilakukan. Bahkan di tengah maraknya ujaran kebencian pada media sosial, jasa ahli linguistik forensik mungkin dapat digunakan. Mungkin juga dipakai untuk kasus-kasus lain, baik yang bersifat privat maupun publik. “Linguistik forensik menerapkan dengan baik kemapanan ilmu bahasa/ linguistik ke dalam data bahasa hukum. Untuk memahami hukum, seseorang harus mengerti bahasa” (hal. 31).

 

Hukumonline.com

 

Mengapa harus menggunakan analogi DNA (deoxyribonucleic acid)? Pertimbangan penulis buku ini sederhana saja. Sampel bukti bahasa, sekecil apapun, merupakan suatu satuan yang disebut teks –lisan atau tertulis—karena memilik konteks sosial dan konteks budaya tempat teks itu diproduksi.  Sebagai satuan teks, dengan menganalogikan konsep genom, maka teks berisi cerita tentang sesuatu sesuai tujuan sosialnya, sebagaimana genom dan paket-paket kromosomnya. Sebanyak 23 kromosom dalam tubuh manusia, masing-masing punya cerita dan fungsinya. Prof. Mahsun menghubungkannya dengan analisis fingerprint (hal. 49).

 

Pada satu sisi, analogi ini dapat diterima  meskipun pada saat bersamaan sering terjadi sebaliknya, yaitu membesar-besarnya dan melemahkan konsistensi potensi analisis gaya (stilistik). Fingerprint yang baik akan menghasilkan keputusan/hasil yang tetap dan dapat dipercaya, sebab pusat identifikasinya terfokus, tidak banyak, terbatas jumlahnya, dan bersifat idiosinkratis. Pada sisi lain, sampel bahasa yang besar berbeda dalam hasil analisis sebab titik identifikasinya dapat sedikit atau banyak (berpotensi tidak terbatas jumlahnya), menyebar ke semua bagian hierarki kebahasaan dan keterwakilan kombinasi kelompok disatukan secara unik oleh masing-masing tulisan (p. 50-51).

 

Baca juga:

 

Seorang ahli bahasa yang ingin menggunakan analogi DNA (asam deoksiribonukleat), itu pada teks harus menempuh banyak langkah. Prof. Mahsun menyusunnya ke dalam 11 langkah (hal. 118-119), yang kemudian ia terapkan dalam kasus Ahok. Misalnya, pastikan bahwa teks yang menjadi sampel bukti kebahasaan itu adalah hasil ciptaan pelaku sendiri, bukan hasil ciptaan bersama dengan pihak lain. Lalu, transkripsikan sampel bukti kebahasaan itu , jika sampel berupa bahasa lisan, ke dalam transkripsi fonetis.

 

Buku Prof Mahsun menyajikan analisis forensik linguistik pada salah satu kasus hukum yang menarik perhatian publik. Buku ini juga dilengkapi keterangan para ahli bahasa di persidangan, yang memperlihatkan kepada pembaca perbedaan pandangan mereka.

 

Tentu saja, lantaran kasus yang dijadikan contoh terbilang sudah lampau karena sudah berkekuatan hukum tetap, terpidana pun sudah menjalani hukuman, perdebatan para ahli itu mungkin saja kurang relevan lagi. Namun, upaya penulis menuangkannya ke dalam sebuah buku adalah upaya yang patut dihargai. Upaya ini mampu mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan linguistik forensik di Indonesia, untuk kasus-kasus lain.

 

Kalangan akademisi dan pembaca punya kesempatan besar untuk terlibat mengembangkannya. Selamat membaca…   

Tags:

Berita Terkait