Beda Kuasa Hukum dengan Kuasa Wajib Pajak serta Perdebatan Pasca Putusan MK
Utama

Beda Kuasa Hukum dengan Kuasa Wajib Pajak serta Perdebatan Pasca Putusan MK

Terminologi Kuasa wajib pajak diatur dalam PMK 229/PMK.03/2014, sedangkan terminologi kuasa hukum di pengadilan pajak diatur dalam PMK 61/2012 junto PMK 184 /PMK.01/2017.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

“Jadi, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak,” tukas Misbakhun.

 

Lebih lanjut, Misbakhun berpendapat bahwa mengenai Kuasa Hukum diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dengan ketentuan organiknya PMK No. 61/2012 yang mulai bulan Juni akan diganti dengan PMK No. 184/2017.

 

Artinya, kata Misbakhun, Keputusan MK tersebut tetap tidak berpengaruh terhadap kewenangan Ketua Pengadilan Pajak untuk memberi izin atau melarang advokat (umum) berpraktik di Pengadilan Pajak. Hanya saja, sejauh menyangkut izin praktik advokat (umum) di Pengadilan Pajak, Menteri Keuangan dan Ketua Pengadilan Pajak tetap mempunyai kewenangan mengatur dan tidak terkena pengaturan baru hasil JR yang sudah diputus MK.

 

Untuk dapat menjadi Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak berdasarkan PMK 184/2017, seseorang harus memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Berikut rincian persyaratannya:

Persyaratan Umum (Pasal 3-4)

Persyaratan Khusus (Pasal 5)

  1. Warga Negara Indonesia (WNI)
  2. Mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang dibuktikan dengan;
  1. Ijazah Sarjana/Diploma IV di bidang administrasi fiskal, akuntansi, perpajakan, dan/atau kepabeanan dan cukai dari perguruan tinggi yang terakreditasi, atau;
  2. Ijazah Sarjana/Diploma IV dari perguruan tinggi yang terakreditasi selain dalam bidang sebagaimana dimaksud angka 1), yang dilengkapi dengan salah satu bukti tambahan, yakni:
  1. Ijazah Diploma III Perpajakan dan/atau kepabeanan dan cukai dari perguruan tinggi yang terakreditasi;
  2. Brevet perpajakan dari instansi atau lembaga penyelenggara brevet perpajakan
  3. Sertifikat keahlian kepabeanan dan cukai dari instansi atau lembaga pendidikan dan pelatihan kepabeanan dan cukai, atau;
  4. Surat atau dokumen yang menunjukkan pengalaman pernah bekerja pada instansi pemerintah di bidang teknis perpajakan dan/atau kepabeanan dan cukai
  1. Mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  2. Mempunyai bukti tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi untuk 2 tahun terakhir;
  3. Memiliki Surat Keterangan Catatan Kepolisian;
  4. Tidak berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil atau pejabat Negara;
  5. Menandatangani Pakta Integritas;
  6. Telah melewati jangka waktu 2 tahun setelah diberhentikan dengan hormat sebagai hakim pengadilan pajak untuk orang yang pernah mengabdikan diri sebagai Hakim Pengadilan Pajak;
  7. Memiliki Izin Kuasa Hukum

 

Ketua Umum Perkumpulan Pengacara Pajak Indonesia (PERJAKIN), Petrus Loyani, menyepakati bahwa kuasa wajib pajak yang dimaksud dalam Putusan MK No. 63/2017 tersebut memang merupakan kuasa dalam artian umum bukan kuasa hukum di pengadilan pajak.

 

(Baca juga: Putusan MK Disebut Tak Pengaruhi Syarat Menjadi Kuasa Wajib Pajak)

 

Kuasa umum itu dicontohkan Petrus seperti untuk berhadapan dengan KPP, dengan Kanwil dan seterusnya yang sifatnya administratif. Sedangkan untuk kuasa hukum itu diatur di UU lain, yakni pasal 34 UU Pengadilan Pajak serta PMK 184/PMK.01/2017 yang akan berlaku bulan Juli depan.

 

Pasal 34

  1. Para pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh satu atau lebih kuasa hukum dengan Surat Kuasa Khusus.
  2. Untuk menjadi Kuasa Hukum harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut;
  1. Warga Negara Indonesia;
  2. Mempunyai pengetahuan yang luas dan keahlian tentang peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  3. Persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait