BRWA Beberkan 4 Tantangan Pengakuan Masyarakat dan Wilayah Hukum Adat
Terbaru

BRWA Beberkan 4 Tantangan Pengakuan Masyarakat dan Wilayah Hukum Adat

Mengingat belum ada UU tentang Masyarakat Hukum Adat, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat masih mengandalkan ketentuan berbagai UU sektoral dan kebijakan pemerintah daerah melalui Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kepala BRWA Kasmita Widodo (kiri). Foto: Istimewa
Kepala BRWA Kasmita Widodo (kiri). Foto: Istimewa

UUD NKRI Tahun 1945 menegaskan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik INdonesia yang diatur dalam UU. Tapi praktiknya tidak mudah bagi masyarakat hukum adat untuk mendapat pengakuan, termasuk wilayah hukum adatnya.

Sampai Agustus 2022, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) berhasil meregistrasi 1.119 peta wilayah adat yang luasnya mencapai 20,7 juta hektar. Tapi dari jumlah itu sebanyak 17,7 juta hektar wilayah adat belum mengantongi pengakuan. Artinya, sampai sekarang baru 15 persen wilayah adat yang sudah diakui pemerintah daerah.

Kepala BRWA, Kasmita Widodo, mengatakan belum terbitnya RUU Masyarakat Hukum Adat membuat kerangka hukum dan kebijakan pengakuan masyarakat hukum adat bertumpu pada berbagai UU yang sifatnya sektoral. Serta kebijakan pemerintah daerah lewat Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Dia mencatat sedikitnya ada 4 tantangan yang dihadapi para pihak dalam proses pengakuan masyarakat dan wilayah adat.

Baca Juga:

Pertama, pembentukan Perda yang membutuhkan waktu yang lama dan berbiaya tinggi. Kasmita menyebut 1 Perda rata-rata butuh waktu sampai 2 tahun atau lebih. Biaya yang dibutuhkan Rp700 juta-Rp1 miliar per tahun. Substansi Perda itu mengatur tata cara pengakuan masyarakat hukum adat, sehingga butuh peraturan turunan yang memerlukan komitmen kepala daerah untuk melaksanakannya.

Jika tidak dibuat aturan turunannya, maka Perda tersebut mangkrak tidak dapat dilaksanakan,” kata Kasmita dalam diskusi bertema Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia 2022, Selasa (9/8/2022).

Kedua, masih sedikit kepala daerah yang memiliki tanggung jawab dan kepemimpinan untuk menyelenggarakan pengakuan masyarakat hukum adat. Hal ini menyebabkan belum adanya kelembagaan daerah yang memiliki tugas khusus dan dibekali anggaran yang memadai untuk melakukan identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat. 

Ketiga, rendahnya kapasitas kelembagaan dan staf untuk melaksanakan kegiatan teknis terkait penyusunan pedoman dan pelaksanaan tahapan-tahapan pengakuan masyarakat adat. Sebagaimana diatur dalam kebijakan daerah, dan peraturan perundangan-undangan lainnya.

Tags:

Berita Terkait