Butuh Sikap Kolektif untuk Mendorong Perdamaian di Myanmar
Terbaru

Butuh Sikap Kolektif untuk Mendorong Perdamaian di Myanmar

Diharapkan para pendukung perdamaian di Myanmar terutama dari Indonesia untuk mendorong sikap tegas masing-masing negara terhadap kebrutalan junta militer.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam webinar yang diselenggarakan Hukumonline bertajuk 'Encouraging ASEAN Community to Promote Peace in Myanmar', Kamis (17/6/2021). Foto: RES
Sejumlah narasumber dalam webinar yang diselenggarakan Hukumonline bertajuk 'Encouraging ASEAN Community to Promote Peace in Myanmar', Kamis (17/6/2021). Foto: RES

Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, Abdul Kadir Jaelani mendorong ASEAN untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk membantu Myanmar, bertindak secara kolektif bersama-sama demi perdamaian di kawasan Asia Tenggara dan juga untuk warga Myanmar.

“ASEAN harus mempertimbangkan langkah terbaik untuk menyelesaikan krisis di Myanmar. ASEAN harus mampu bertindak/bergerak bersama,” ujar Abdul Kadir Jaelani dalam webinar yang diselenggarakan Hukumonline bertajuk ”Encouraging ASEAN Community to Promote Peace in Myanmar", Kamis (17/6/2021).

Selain Abdul Kadir Jaelni, webinar Hukumonline ini menghadirkan pembicara lain dari empat negara. Keempat pembicara tersebut adalah Founder and Chairperson of The Advisory Board Progressive Voice, Khin Ohmar (Myanmar); Coordinator of The Alternative ASEAN Network on Burma Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia (FIDH) Debbie Stothard (Malaysia); Advokat Hak Asasi Manusia dan Ketua Misi Pencari Fakta International Independen Dewan HAM PBB di Myanmar Marzuki Darusman (Indonesia); dan Editorial Staff of The101.world Mr. Wongpun Amarinthewa (Thailand).

Chief Content Officer Hukumonline, Amrie Hakim menegaskan komitmen Hukumonline mendukung iklim demokrasi yang sehat di Myanmar termasuk kawasan Asia Tenggara. Dia sangat berharap suara perdamaian penting digaungkan agar kondisi negara Myanmar kembali normal seperti sedia kala.

“Webinar ini salah satu bentuk komitmen kami mendukung resolusi konflik di Myanmar, dengan bertukar sudut pandang multidimensional di forum ini. Hukumonline ingin mengedukasi publik atas isu konflik Myanmar sebagai wujud jurnalisme yang mencerahkan,” kata Amrie Hakim saat membuka webinar ini. (Baca Juga: 5 Poin Konsensus ASEAN, Solusi Atasi Krisis di Myanmar)

Khin Ohmar mengungkapkan harapannya atas nama gerakan masyarakat sipil di Myanmar. Berbagai fakta aksi brutal junta militer dipaparkannya untuk mendapat perhatian serius. “Hukuman mati dijatuhkan termasuk kepada anak berumur 8 tahun. Penculikan, penyanderaan, dan pemenjaraan juga terus meningkat. Junta militer ini tidak lebih dari geng kriminial. Ini tidak pernah terjadi puluhan tahun sebelumnya meski bukan pertama kali dikuasai junta militer,” kata Ohmar.

Meski begitu, dirinya masih optimis rakyat Myanmar bisa merebut kembali hak asasi dan iklim demokrasi yang dirampas junta militer. Meski ia sendiri mengaku tidak terlalu berharap banyak pada ASEAN. Sebab, gerakan masyarakat sipil Myanmar kecewa dengan Sekjen ASEAN yang hanya bertemu junta militer dan tidak bertemu pemerintahan yang didukung masyarakat, Pemerintah Persatuan Nasional Republik Persatuan Myanmar (NUG).  

“Demonstrasi masih terjadi di jalanan seluruh penjuru negeri meski sudah lebih kecil massanya. Jurnalis dan ‘jurnalis’ warga terus bekontribusi untuk membuat dunia terus melihat apa yang terjadi meski di bawah tekanan militer,” bebernya.

Debbie Stothard mengungkap data bahwa junta militer tidak peduli pada keselamatan rakyat Myanmar. Junta militer memperburuk pandemi Covid-19 di Myanmar dengan membunuh tenaga kesehatan, mengubah rumah sakit sebagai markas militer, bahkan membatasi testing. “Upaya tanggap Covid-19 dilemahkan oleh kudeta junta militer. Pembelian vaksin dibatalkan agar mereka bisa membeli alat tempur,” lanjutnya.

Marzuki Darusman mengakui sikap ASEAN sebagai organisasi kawasan kerja sama kawasan Asia Tenggara sangat mengecewakan dalam merespons aspirasi rakyat Myanmar. Di sisi lain, ia menilai solusi yang bisa diharapkan saat ini hanya dari tangan rakyat Myanmar sendiri. “Kita lihat gerakan perlawanan sipil terus bertahan, junta militer tidak akan bisa memobilisasi kekuatan politik dan militer untuk mengendalikan rakyat,” kata dia.

Marzuki, Debbie, dan Ohmar sepakat bahwa negara-negara di ASEAN bisa mendukung Myanmar tanpa menunggu sikap resmi ASEAN. Caranya dengan melakukan embargo senjata untuk melemahkan junta militer serta menghentikan kerja sama bisnis dengan korporasi yang mendukung junta militer. “Sangat penting menghentikan kemampuan operasional Tatmadaw (militer Myanmar, red),” kata Marzuki.

Wongpun, selaku jurnalis yang mengikuti perkembangan konflik Myanmar menilai fenomena kudeta yang terjadi bukan semata-mata masalah domestik. “Persoalan Myanmar adalah masalah bagi seluruh kawasan di Asia Tenggara. Bukan hanya fenomena nasional, tapi perkembangan otoritarianisme di seluruh kawasan. Terjadi kemunduran demokrasi di Asia Tenggara,” kata Wongpun.  

Ia membeberkan perbandingan indeks demokrasi dan kebebasan sipil dalam beberapa tahun belakangan di berbagai negara Asia Tenggara. Hasilnya menunjukkan tren penurunan. Pernyataannya ini didukung hasil pengamatan Debbie. National Unity Government of Myanmar yang digulingkan kudeta junta militer sebenarnya memiliki legitimasi yang kuat berdasarkan representasi elektoral.

“NUG (National Unity Government of Myanmar­-red.) mewakili 60 persen anggota parlemen paling beragam dalam sejarah Myanmar yang mewakili berbagai kelompok etnis. Ini pemerintahan yang harus didukung,” kata Debbie.

Ohmar mengungkapkan fakta yang sama dengan pengamatan Wongpun. Ia menyebut para pemuda sedang berusaha keras merebut Myanmar meski berhadapan dengan junta militer. “Mereka tidak mau masa depan mereka direbut begitu saja. Saat ini kalangan muda berusaha keras menggunakan hak mereka melawan kebrutalan junta militer. Kalangan pelajar terdorong ikut membela diri mereka dari seluruh penjuru negeri,” kata Ohmar.

“Rakyat Myanmar sedang berjuang mendapatkan demokrasi meski di situasi pandemi,” lanjut Ohmar.

Ia menyeru para pendukung perdamaian di Myanmar terutama dari Indonesia untuk mendorong sikap tegas masing-masing negara terhadap junta militer. “ASEAN tidak mengakui aspirasi rakyat Myanmar. Indonesia punya posisi yang mampu memimpin ASEAN untuk mendukung Myanmar,” harapnya.

Seperti diketahui, webinar ini memang bertujuan untuk memberikan dorongan dari negara-negara ASEAN agar kekerasan dan krisis yang terjadi di Myanmar dapat segera dihentikan. Hal ini sesuai dengan hasil pertemuan ASEAN Leader's Meeting di Jakarta pada 24 April 2021 lalu. Setidaknya terdapat lima konsensus dari hasil pertemuan tersebut.

Pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya. Kedua, terjadinya dialog konstruktif antara semua pihak yang berkepentingan dan harus dimulai untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat. Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN. Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre. Kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.

Tags:

Berita Terkait