Capim dari Internal KPK Curhat Soal Pimpinan yang Birokratis
Berita

Capim dari Internal KPK Curhat Soal Pimpinan yang Birokratis

Pergeseran pada pimpinan KPK terjadi selepas usainya jabatan pimpinan KPK jilid pertama.

CR19
Bacaan 2 Menit

Selain tipis, ia menambahkan, idealnya dalam kode etik tidak ditemukan lagi penafsiran atau multi tafsir. Sehingga, setiap pegawai sampai pimpinan di KPK tidak keliru memahami kode etik yang mengatur. Bahkan, yang mengejutkan lagi adalah tidak semua pegawai dan pimpinan KPK mengetahui dan memahami kode etik di KPK tersebut.

Misalnya, ada sejumlah pegawai KPK baru tahu kalau dirinya melanggar kode etik ketika dia dipanggil oleh Dewan Etik KPK. Bahkan, pimpinan KPK sekalipun juga baru mengetahui bahwa dia melanggar etik ketika di sidang oleh Komisi Etik. “itu celaka banget. Harusnya sebelum masuk di proses persidangan etika, insan KPK itu sudah harus clear mengetahui apa yang boleh atau tidak,” jelasnya.

Untuk itu, Sujanarko menilai, agar kode etik seharusnya selain perlu diatur secara detil dan mendalam, kode etik KPK perlu dilakukan revisi. Dia usul bahwa kode etik seharusnya menjadi dokumen hidup yang setiap waktu bisa dilakukan perubahan. “Bahkan kode etik itu seharusnya dokumen hidup, bisa setiap tahun dilakukan revisi, ditambah apa yang boleh atau tidak, harusnya seperti itu,” imbuhnya.

Bukan hanya masalah kode etik, isu independensi di KPK juga menjadi kelemahan tersendiri bagi lembaga tersebut. Ke depan, Sujanarko berharap, ke depan KPK bisa tunduk kepada politik hukum negara. Sebab selama ini banyak sekali yang salah mengartikan arti independensi di tubuh KPK. Independensi di tubuh KPK itu seharusnya diartikan dengan ketundukan KPK terhadap apa yang disepakati oleh negara.

“Ada yang salah mendefinisikan independensi soal KPK. Menurut banyak orang, tugas di KPK itu bersifat independen, menurut saya tidak. KPK harus tunduk terhadap politik hukum negara bahkan KPK harus tunduk terhadap apapun yang disepakati negara terkait dengan APBN, RPJM, dan Strasnas,” tuturnya.

Persoalan lain yang diungkap Sujanarko mengenai kinerja KPK. Menurutnya, selama 12 tahun KPK berdiri, seringkali bekerja dan berjalan sendirian dalam upaya pemberantasan korupsi. Ke depan, ia mengusulkan agar KPK bisa menggandeng Kementerian/Lembaga lainnya semisal Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan serta Bappenas.

“Ke depan KPK perlu sekali mengkonsolidasikan seluruh programnya terkait dengan politik hukum negara,” paparnya.

Selain itu, kata Sujanarko, di internal KPK masih ada yang belum paham mengenai koordinasi dan supervisi. Bahkan, ada yang menilai kedua hal tersebut diartikan sama. Padahal, sesuai UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur kedua hal tersebut pada pasal yang berbeda.

“Pasal koordinasi itu terkait dengan desain sedangkan supervisi adalah kewenangan inspection. Jadi saya tidak nyaman di lingkungan KPK ada istilah Korsup karena itu dua kewenangan yang berbeda,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait