Catatan Walhi Soal Inpres Pemberian Izin Baru Hutan Primer dan Lahan Gambut
Berita

Catatan Walhi Soal Inpres Pemberian Izin Baru Hutan Primer dan Lahan Gambut

Masih terdapat celah dalam Inpres sehingga risiko kerusakan hutan dan lahan gambut masih terjadi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Namun pada kenyataannya justru alih fungsi kawasan hutan ke non-kawasan hutan terjadi akibat revisi tata ruang di tingkat daerah. “Alih fungsi tersebut menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan degradasi hutan yang menambah emisi dari sektor berbasis lahan. Sampai Agustus 2014 terjadi pelepasan kawasan hutan hingga 7,8 juta hektare karena tuntutan penyesuaian ke dalam tata ruang daerah,” jelas Zenzi, Rabu (21/8).

 

Dia mengkritik tidak terdapatnya peran serta masyarakat dalam mengelolaan hutan dan lahan gambut secara berkelanjutan melalui perhutanan sosial. Padahal, program tersebut masuk dalam program prioritas pemerintah sebagai langkah mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, menurunkan emisi sekaligus menurunkan kemiskinan.

 

Menurutnya, pengajuan perhutanan sosial oleh komunitas di kawasan hutan dan lahan gambut seringkali terkendala akibat tumpang tindih kebijakan, baik kebijakan spasial maupun kebijakan teknis kementerian sehingga menghambat masyarakat dalam memperoleh wilayah kelolanya. Hal ini juga menghambat target capaian perhutanan sosial pemerintah sebagaimana terlihat dari baru tercapai 16% dari target 12,7 juta hektare di tahun 2019.

 

(Baca: Pemerintah Stop Pemberian Izin Baru Hutan Primer dan Lahan Gambut)

 

Persoalan lain, masih dikecualikannya pelaksanaan pembangunan nasional yang bersifat vital, yaitu panas bumi, minyak dan gas bumi, lahan untuk program ketenagalistrikan, serta infrastruktur yang termasuk dalam proyek strategis nasional. Termasuk penyiapan pusat pemerintahan atau ibukota pemerintahan baik pusat, provinsi maupun daerah.

 

Zenzi menilai pengecualian ini justru akan menjadi bumerang bagi kebijakan perlindungan hutan dan lahan gambut sekaligus memberi indikasi bahwa pemindahan ibukota negara ke Kalimantan akan semakin meningkatkan kerusakan lingkungan terutama hilangnya tutupan hutan. Selain itu, pengecualian lainnya adalah lahan untuk padi dan tebu yang menandakan bahwa Inpres moratorium ini tetap berorientasi pada komoditas yang berkembang di pasar.

 

“Pengecualian ini pada akhirnya mendorong beberapa wilayah menjadi sasaran lahan bisnis perkebunan tebu dan padi skala besar, selain perkebunan sawit. Inilah yang kemudian menyumbang angka deforestasi di Papua. Sedikitnya, Persetujuan prinsip IUP Perkebunan ada 130.324  hektare di tahun 2015 dan 29.886 hektare persetujuan prinsip IUP perkebunan pada tahun 2016. Sebaliknya tidak adanya pengecualian untuk perhutanan sosial dan program reforma agraria justru menghambat target janji pemerintah untuk pemenuhan kesejehteraan rakyat,” tambah Zenzi. 

 

Walhi juga menilai kebijakan penghentian izin baru tidak menyasar korporasi yang telah mendapatkan izin prinsip dari KLHK sebelum pemberlakuan kebijakan moratorium tahun 2011 serta masih memberi kesempatan bagi perpanjangan izin lama. Hal ini tentu akan membuka peluang bagi korporasi di sektor perkebunan skala besar untuk terus memperoleh keuntungan dari rezim izin yang ada sekarang.

Tags:

Berita Terkait