“Di UU 1 1974 (UU Perkawinan) berbeda dengan KHI. Di UU 1974, itu ada namanya harta bersama, sementara di KHI pada dasarnya tidak ada harta bersama. Konsep islam, apa yang dihasilkan istri milik istri seluruhnya,” jelasnya.
Baca:
- Hak Asuh Anak Belum Mumayyiz Tak Selamanya Jatuh ke Tangan Ibunya
- Hak Waris Anak Adopsi Menurut Hukum Barat dan Hukum Islam
Tak meminta
Ahmad Ramzy, advokat yang menangani perkara perceraian menambahkan dari pengalamannya justru mayoritas klien yang ditangani tidak mempermasalahkan tentang nafkah. Sebab mereka sebenarnya hanya ingin berpisah dengan pasangan karena merasa sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah tangga.
“Mungkin ada sekitar 70-80 persen perkara yang saya tangani di Jakarta tidak mengajukan nafkah. Rata-rata mereka tidak mau terhalang perceraian gara-gara nafkah, itu alasan mereka tidak mengajukan nafkah-nafkah itu, karena kan intinya cerai,” pungkasnya.
Mantan Ketua DPW Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) Jakarta ini menjelaskan biasanya klien yang pernah ditangani sebelum menikah sudah mempunyai perjanjian dengan pasangan. Sehingga jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti perceraian maka salah satu pihak tidak mau merepotkan atau memperdebatkan nafkah-nafkah ini.
“Ada deal sebelum bercerai, ada juga biasanya si istri tau kemampuan suami, daripada menuntut malah masalah panjang sehingga tidak mau,” tuturnya.
Menurut Ramzy fenomena seperti ini untuk di kota besar seperti Jakarta bukan hal yang aneh. Karena pasangan yang bercerai sebenarnya hanya ingin mempermudah proses perceraian secara resmi sehingga hak-hak yang seharusnya bisa mereka dapatkan, khususnya dari sisi istri seperti mut’ah, nafkah iddah, kiswah, hingga nafkah anak tidak menjadi prioritas utama.