Formappi: Kinerja Legislasi DPR Masa Sidang V Cukup Produktif
Terbaru

Formappi: Kinerja Legislasi DPR Masa Sidang V Cukup Produktif

Tapi cenderung mayoritas RUU Kumulatif Terbuka yang diselesaikan dan disahkan menjadi UU, ketimbang RUU yang diselesaikan dari daftar Prolegnas Prioritas 2022.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Kinerja DPR di bidang legislasi pada masa sidang V terhitung sejak 17 Mei hingga 7 Juli 2022 boleh dibilang cukup produktif bila melihat total Rancangan Undang-Undang (RUU) yang disahkan. Terlihat dari 11 RUU yang berhasil rampung dibahas dan disetujui/disahkan menjadi UU pada masa sidang V yang lalu. Demikian disampaikan peneliti fungsi legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius kepada Hukumonline, Senin (15/8/2022).

“Dinamika pembahasan RUU pada masa sidang V cukup produktif,” ujarnya.

Sayangnya, kata Lucius, dari 11 RUU tersebut, hanya 3 RUU yang berasal dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 yakni RUU Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi UU No.13 Tahun 2022; RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi menjadi UU No.23 Tahun 2022; dana RUU tentang Pemasyarakatan menjadi UU No.22 Tahun 2022. Sisanya RUU yang mengatur lima provinsi dan RUU pembentukan daerah otonomi baru di Papua yang masuk daftar Kumulatif Terbuka.

Namun begitu, Lucius menilai secara umum melihat dari target Prolegnas Prioritas 2022 yang berjumlah 40 RUU, kinerja legislasi DPR cenderung biasa saja. Sebab, 3 RUU yang berasal dari daftar Prolegnas Prioritas 2022 yang berhasil disahkan bukan prestasi yang mengagumkan. Menurutnya, tambahan RUU berasal dari klaster Kumulatif Terbuka kerap menjadi ‘senjata’ untuk menutup potret kinerja rendah DPR di bidang fungsi legislasi.

Selain itu, proses pembahasan RUU masih belum seluruhnya mencerminkan meaningful participation sebagaimana amanat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dia juga mencatat keputusan DPR yang menghentikan proses pembahasan RUU tentang Penanggulangan Bencana menjadi preseden buruk. Sebab, tuntutan penguatan regulasi kebencanaan sejatinya menjadi kebutuhan mendesak bila melihat kerawanan bencana alam di Indonesia. Menurutnya, bila ditambah dengan ancaman bencana non-alam, seperti pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, maka ancaman bencana tentu sesuatu yang nyata.

“Bagaimana bisa DPR justru menghentikan pembahasan RUU yang tuntutan kebutuhannya sangat jelas? Apalagi alasan penghentian itu nampak sangat elitis yakni karena perbedaan sikap antara Pemerintah dan DPR terkait posisi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam proses pembahasan.”  

Dia berpandangan perbedaan pandangan dan sikap dalam pembahasan RUU antara DPR dan pemerintah maupun antar fraksi menjadi hal lumrah. Sebaliknya, pembahasan RUU Penanggulangan Bencana yang memunculkan perbedaan sikap itu malah menjadi petaka yang memutuskan menghentikan pembicaraan penting terkait regulasi kebencanaan. “Ini benar-benar konyol sih,” ujarnya.

Hukumonline.com

Formappi pun menyorot pengesahan RUU Perubahan Kedua atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurutnya proses pembahasan RUU tersebut tak cukup partisipatif. Termasuk soal pro-kontra mekanisme penggunaan metode omnibus law serta bagaimana hubungannya dengan Revisi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang masih menggantung.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait