Hukum Humaniter Di Mata Seorang Intel
Berita

Hukum Humaniter Di Mata Seorang Intel

Kedudukan intel diatur tegas dalam hukum humaniter.

ALI
Bacaan 2 Menit
Hukum Humaniter Di Mata Seorang Intel
Hukumonline

Ruang lingkup hukum humaniter adalah hukum yang mengatur seputar peperangan. Jadi, tak heran bila sebagian orang menyebut hukum humaniter sebagai hukum perang. Lalu, bagaimana pandangan seorang intel atau mata-mata mengenai hukum humaniter ini?

Dalam peluncuran buku Hukum Humaniter karya mendiang Prof Haryomataram, Robert Mangindaan dari Lemhanas mengeluarkan pernyataan nyeleneh. Ketika murid-murid Prof Haryo menuturkan kesan mereka terhadap sang profesor, Robert justru mengungkapkan perdebatannya kepada ‘guru’-nya tersebut.

“Banyak sekali saya berbenturan dan berdebat dengan beliau. Saya ini adalah intel dan tak kenal hukum. Saya juga tak kenal HAM (hak asasi manusia,-red),” ujar Robert yang hadir mewakili Gubernur Lemhanas ketika mengomentari buku tersebut di Jakarta, Kamis (17/10).

Robert menuturkan ada kerancuan melihat hukum humaniter di kehidupan nyata, terutama di Indonesia. Ia mencontohkan ketika pemerintah membentuk tim ad hoc untuk menghadapi kerusuhan SARA di Ambon. Komandannya berasal dari TNI, dan wakilnya berasal dari kepolisian.  

“Combatant bercampur dengan non combatant. Ini konsep di Indonesia yang tak bisa dipahami orang luar. Polisi kan non combatant tapi sering dilibatkan dalam armed conflict. Pandangan pribadi saya, ini luput dari praktisi hukum humaniter,” tuturnya.

Dosen Hukum Pidana FH Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih yang menjadi peserta diskusi kaget dengan pernyataan Robert tersebut. “Tadi disebut orang intel itu tak kenal hukum dan boleh melanggar HAM. Pernyataan tadi apakah benar atau hanya joke?” tuturnya.

Yenti mengingatkan bahwa Indonesia saat ini sudah mempunyai Undang-Undang tentang Intelijen. “Itu untuk membatasi. Perang harus diatur. Masyarakat harus tahu bahwa mereka terlindungi. Misalnya, di dalam ambulan, posisi mereka aman atau korban tak boleh dianiaya,” ujarnya menjelaskan beberapa aturan dalam hukum humaniter.

Sayangnya, Robert yang tampil sebagai pembicara tak sempat mendengarkan dan menjawab pertanyaan Yenti ini karena terlebih dahulu meninggalkan acara tersebut.

Dosen Universitas Pertahanan dan Sekolah Tinggi Hukum Militer, Natsri Anshari menjelaskan intelijen dalam konteks hukum humaniter berarti intelijen dalam kondisi konflik bersenjata. Dalam konteks ini, tindak-tanduk intelijen telah diatur secara tegas.

“Aturannya ada. Itu sangat clear sekali,” tukas Natsri.

Dalam tugas militer di konflik bersenjata, lanjut Natsri, seorang intel bertanggung  jawab pada targeting decision (penentuan target). “Intel dulu yang masuk. Selalu operasi intelijen dulu yang masuk, sebelum melakukan serangan. Dia yang memberi informasi yang sangat esensial dan sensitif untuk melakukan serangan atau tidak,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Natsri, intel juga yang bertanggung jawab menentukan target mana yang bisa dihancurkan dan target mana yang harus dilindungi berdasarkan hukum humaniter. “Ada aturan hukum untuk intelijen. Yang bilang tak ada mungkin belum ikut penataran. Pekerjaan intel itu bagus, tak hanya mencuri atau mencolong informasi,” tambahnya.

Natsri menambahkan pekerjaan intel adalah pekerjaan yang legal, karena tak ada satu pun negara di dunia ini yang tak mempunyai intelijen. “Kalau ada pekerjaannya yang nyerempet aturan hukum nasional, itu benar. Namun, dalam konteks sengketa hukum bersenjata, dia sangat penting,” ujarnya.

“Intel juga menjalankan fungsi operasi. Bagaimana operasi militer itu dilakukan? Apa boleh menggunakan rudal atau tidak? Itu ada hukumnya. Tentara itu kan ksatria sehingga tak boleh bertempur dengan cara yang licik,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait