Imparsial: Revisi UU TNI Usulan Luhut Ingin Legalkan Kembali Dwifungsi TNI
Terbaru

Imparsial: Revisi UU TNI Usulan Luhut Ingin Legalkan Kembali Dwifungsi TNI

Dicabutnya dwifungsi TNI merupakan buah dari perjuangan kelompok pro demokrasi pada saat reformasi 1998.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Wacana revisi UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yang dilontarkan Menteri Maritim dan INvestasi, Luhut Binsar Panjaitan dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD pada Jumat (5/8/2022) silam menuai protes keras dari kalangan masyarakat sipil. Sebagaimana pemberitaan media, dalam kegiatan tersebut Luhut mengusulkan revisi UU TNI mengatur agar TNI aktif dapat menempati jabatan sipil.

Direktur Eksekutif Imparsial, Gufron Mabruri, menilai usulan Luhut itu mengancam demokrasi karena akan melegalkan kembali praktik dwifungsi TNI seperti pada masa orde baru. Dia menegaskan demokrasi yang hadir sampai saat ini merupakan buah dari perjuangan berbagai kelompok pro demokrasi ketika reformasi 1998. Buah dari perjuangan itu termasuk dicabutnya dwifungsi TNI.

“Elit politik, terutama yang tengah menduduki jabatan strategis di pemerintahan, semestinya menjaga dan bahkan memajukan sistem dan dinamika politik demokrasi hari ini, dan bukan sebaliknya malah mengabaikan sejarah dan pelan pelan ingin mengembalikan model politik otoritarian Orde Baru,” kata Gufron ketika dikonfirmasi Rabu (10/8/2022).

Baca Juga:

Gufron mengingatkan penghapusan dwifungsi TNI merupakan bagian dari agenda reformasi tahun 1998. Langkah itu tak hanya sebagai bentuk koreksi terhadap penyimpangan fungsi dan peran TNI (ABRI) yang kala itu berfungsi sebagai alat kekuasaan orde baru, tapi juga mendorong profesionalitas TNI.

Salah satu praktik dwifungsi ABRI yang dihapus yakni penempatan anggota TNI aktif pada jabatan sipil baik di Kementerian, lembaga negara dan pemerintah daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota). Tapi ada pengecualian dimana militer aktif dapat menduduki jabatan yang memiliki keterkaitan dengan fungsi pertahanan seperti Kementerian Pertahanan, Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan, Sekmil Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lemhanas, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

“Jabatan yang boleh ditempati militer aktif itu diatur Pasal 47 ayat (2) UU TNI,” ujar Gufron.

Bagi Gufron dihapusnya dwifungsi TNI penting untuk dijaga dan dipertahankan. Jika ruang itu dibuka melalui UU, maka sama saja mengembalikan peran TNI seperti masa otoriter orde baru. Perwira militer aktif yang dapat menduduki jabatan sipil sebagaimana diusulkan Luhut menurut Gufron bukan untuk pembangunan dan penataan TNI, tapi malah merusak internal TNI dan demokrasi.

Mengurai menumpuknya perwira non-job bagi Gufron dapat dilakukan dengan perbaikan rekrutmen prajurit, pendidikan, kenaikan karier, dan kepangkatan. Berbagai upaya itu jauh lebih penting untuk dilakukan ketimbang berwacana mengembalikan dwifungsi TNI dengan menempatkan prajurit aktif dalam jabatan sipil.

Dia berpendapat wacana penempatan jabatan sipil itu merupakan siasat untuk melegalkan kebijakan yang selama ini salah yakni banyaknya anggota TNI aktif yang saat ini menduduki jabatan sipil seperti Badan Nasional Penanggulangan bencana, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan BUMN. “Bahkan, belakangan ini sudah ada perwira TNI aktif yang menduduki jabatan kepala daerah seperti di Kabupaten Seram Bagian Barat,” bebernya.

TNI harusnya fokus menjadi alat pertahanan yang profesional. Apalagi semakin berkembangnya kondisi lingkungan strategis serta generasi perang menjadi generasi perang ke-4 yang kompleks. Menuntut adanya fokus dan spesialisasi prajurit TNI untuk menghadapi ancaman spesifik.

“Dengan kata lain wacana penempatan prajurit aktif ke dalam jabatan-jabatan sipil yang digulirkan oleh Luhut Binsar Panjaitan justru akan mengganggu fokus dan kesiapan prajurit dalam menghadapi ancaman perang ke depan.”

Tags:

Berita Terkait