Salah satu survei yang dirilis dari Queen Mary University of London, sekitar 97% responden memilih arbitrase internasional dan Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai metode penyelesaian sengketa bagi mereka. Sisanya yakni 3% memilih jalur litigasi. Angka ini menjadi penggerak sejumlah pakar saat mendirikan Bali International Arbitration & Mediation Center (BIAMC) setahun yang lalu.
Dalam kunjungannya ke kantor Hukumonline, Kamis (27/9) petang, Prof Ida Bagus Rahmadi Supancana memaparkan, potensi penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut masih sangat besar. Hal ini yang menyebabkan dirinya dan sejumlah pakar arbitrase internasional lainnya bersepakat mendirikan BIAMC.
“Selain saya ada Prof Peter Malanczuk, Prof Zhao Yun, Bambang Supriyanto, Prof Abu Bakar Bin Munir, Prof Ida Bagus Wyasa Putra, dan Ahmad Fahmi Shahab serta ibu Naz Juman sebagai pendiri BIAMC,” kata Supanca yang ditemani dua perwakilan dari BIAMC, Suar Sanubari dan Damayanti Tilaar.
Penggunaan nama Bali pada BIAMC juga bukan tanpa alasan. Para pendiri BIAMC, kata Supanca, percaya bahwa pulau Bali memiliki keunikan tersendiri sehingga menjadi tempat yang pas untuk menyelesaikan sengketa. “Sesuai tagline kami, Find Resolution in Paradise,” selorohnya disambut tawa.
Kedatangan perwakilan BIAMC ini disambut Direktur Pemberitaan dan Konten Hukumonline Amrie Hakim, Pemimpin Redaksi Hukumonline Fathan Qorib dan Grace Nagatami Susilo, Event and Training Manager Hukumonline.
Dari sumber daya manusia, lanjut Supanca, Indonesia juga memiliki potensi untuk mencetak arbiter andal. Hal itu terlihat dari maraknya mahasiswa Indonesia yang ikut kompetisi arbitrase berskala internasional di luar negeri. Bahkan, tak jarang hingga memenangkan kompetisi.
Atas dasar itu, BIAMC terus berupaya membangun pendidikan bagi orang-orang Indonesia yang ingin menjadi arbiter dengan standar internasional. Ia percaya, mengembangkan potensi pengetahuan merupakan cara yang baik dalam mencetak arbiter andal.