Ini 3 Sumber Acuan dalam Putusan Hakim Selain Undang-Undang
Utama

Ini 3 Sumber Acuan dalam Putusan Hakim Selain Undang-Undang

Yakni yurisprudensi; landmark decision berdasarkan praktik alami peradilan; dan rumusan hasil rapat pleno kamar yang ditetapkan otoritas para hakim dalam bentuk SEMA. Ketiganya bersumber dari putusan-putusan terdahulu yang disepakati substansinya oleh hakim.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Meski sistem hukum Indonesia tidak menganut doktrin preseden atau stare decisis, faktanya putusan hakim tidak (melulu) hanya mengacu undang-undang. Hukumonline menemukan ada tiga acuan hakim dalam memutus perkara yang berkaitan dengan putusan terdahulu. Tiga acuan itu tidak kalah penting selain undang-undang sebagai hukum positif yang menjadi dasar hakim mengadili dan memutus perkara.

Doktrin preseden atau stare decisis bermakna terikatnya putusan pengadilan dengan putusan terdahulu yang memiliki keserupaan poin penentu dengan perkara yang akan diputus saat ini. Merujuk buku karya mendiang Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Mengenal Hukum, ia mengatakan, “Di Indonesia tidak lagi dapat dikatakan secara mutlak bahwa hakim tidak terikat pada putusan pengadilan. Demikian pula sebaliknya di negara-negara Anglo-Saxon tidak lagi dapat dikatakan bahwa hakim terikat sepenuhnya pada putusan pengadilan.”

Pernyataan Sudikno terbukti pada praktik penerapan hukum di Indonesia. Namun, perlu dicatat bahwa ketiganya tidak sama kuat sebagai rujukan hakim. Setidaknya para hakim yang Hukumonline wawancarai mengakui demikian. Kedudukan satu sama lain dari tiga acuan itu tidak sepenuhnya setara sebagai rujukan mereka dalam mengadili dan memutus perkara.

Baca Juga:

Apa saja tiga acuan itu?

1.Yurisprudensi

Sudikno menyebut setidaknya istilah yurisprudensi bisa merujuk tiga makna. Pertama, yurisprudensi berarti penerapan hukum di pengadilan atau peradilan itu sendiri. Makna ini mengacu yurisprudensi sebagai proses. Kedua, yurisprudensi juga berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuat dalam putusan. Terakhir, yurisprudensi adalah putusan pengadilan.

Secara praktis, yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia adalah putusan pengadilan yang diikuti karena ada kesamaan terhadap perkara yang akan diputus. Yurisprudensi bisa diikuti sebagai pedoman dalam memutus perkara, namun statusnya tidak berlaku mengikat seperti doktrin preseden. Yurisprudensi tidak selalu terbentuk dari putusan-putusan Mahkamah Agung. Yurisprudensi bisa lahir dari putusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding. Karena itu, tidak semua putusan Mahkamah Agung otomatis bernilai sebagai yurisprudensi.

Yurisprudensi terbentuk dalam praktik di pengadilan. Lalu, Mahkamah Agung Indonesia secara berkala menerbitkan kompilasi dengan nomor katalog khusus untuk yurisprudensi yang dianggap sudah dikenal luas. Kompilasi ini disebut ‘yurisprudensi tetap’. Namun, Ketua Mahkamah Agung 2012-2020, Hatta Ali pernah mengatakan kepada Hukumonline bahwa yurisprudensi yang belum tercantum dalam kompilasi terbitan Mahkamah Agung bukan berarti tidak dianggap ada.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait