Ini Tafsir Pemerintah dan DPR atas ‘Persetujuan’ CHA
Berita

Ini Tafsir Pemerintah dan DPR atas ‘Persetujuan’ CHA

DPR mengartikan ‘persetujuan’ sebagai tindakan menyetujui atau sebaliknya.

ASH
Bacaan 2 Menit

“Ini dapat dilakukan proses legislative review oleh pembentuk undang-undang,” sarannya.

Pentingnya keterlibatan DPR ini, lanjutnya, sebagai kehendak terwujudnya check and balances terhadap pelaksanaan independensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan lain.                           

Hal senada disampaikan DPR yang menyatakan kata “persetujuan” terhadap calon hakim agung yang diusulkan KY, bermakna DPR bisa menyetujui atau tidak. Sehingga, bukan semata-mata untuk langsung menyetujui CHA yang telah diusulkan oleh KY.

Karena itu, perlu adanya penilaian atau pemilihan oleh DPR terhadap CHA yang diusulkan KY. “Sudah jelas itu disebutkan dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Jadi tidak serta merta calon yang diusulkan langsung disetujui,” tutur Anggota Komisi III DPR M. Nurdin. 

Menurut dia persetujuan DPR dalam memilih CHA sama sekali tidak menghalangi hak konstitusional seseorang untuk menjadi hakim agung. Selama para calon memenuhi persyaratan sebagai CHA seperti tercantum dalam Pasal 7 UU MA, KY akan mengajukan nama calon untuk diserahkan ke DPR.

“Tentunya setelah disetujui oleh DPR, baru ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden,” ujar politisi dari PDI-P ini.

Untuk diketahui, sejumlah LSM, seorang calon hakim agung (CHA) Syafrinaldi, tiga CHA Made Dharma Weda, RM. Panggabean, dan St. Laksanto Utomo mempersoalkan kewenangan DPR untuk memilih seleksi calon hakim agung seperti termuat dalam Pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4), (5) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY.

Menurut mereka, makna “pemilihan” dalam pasal-pasal itu tidak sejalan dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 yang rumusannya berbunyi ‘DPR memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan KY.’

Keberadaan pasal-pasal dinilai berpotensi melanggar hak konstitusional para pemohon untuk menjadi hakim agung. Alasannya, sudah jelas dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan kalau kewenangan DPR hanya sebatas menyetujui, bukan memilih hakim agung. Karenanya, mereka meminta MK menafsirkan makna memilih sebagai menyetujui sesuai Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. 

Tags:

Berita Terkait