Kepala Desa Banyak Terjerat Korupsi, Transparansi dan Pengelolaan Keuangan Perlu Dibenahi
Terbaru

Kepala Desa Banyak Terjerat Korupsi, Transparansi dan Pengelolaan Keuangan Perlu Dibenahi

Adapun faktor yang biasanya membuat kepala desa terjebak dalam tindak pidana korupsi adalah karena tingginya biaya politik pada saat turun gelanggang pemilihan kepala desa.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Kepala Desa Banyak Terjerat Korupsi, Transparansi dan Pengelolaan Keuangan Perlu Dibenahi
Hukumonline

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sejak tahun 2012-2021 terdapat 601 perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelewenangan dana desa. Dari jumlah tersebut, tidak kurang dari 686 orang kepala desa dan perangkat desa ditetapkan sebagai tersangka karena terjerembab dalam praktik korupsi. 

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan, catatan ini sangat buruk bila merujuk pada tujuan dari digelontorkannya dana desa. Dana desa yang seharusnya dimanfaatkan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa justru menjadi bahan bancakan oleh oknum kepala desa yang memanfaatkan jabatannya. 

“Korupsi adalah penyalahgunaan wewenang. Wewenang yang Anda miliki itu wewenang publik tadi digunakan untuk kepentingan diri. Uang yang dititipkan negara kepada Anda adalah uang rakyat,” kata Ghufron dalam Sosialisasi dan Bimbingan Teknis Desa Antikorupsi di Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Senin (26/9).

Baca Juga:

Mengutip Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, korupsi adalah sebuah tindakan memperkaya diri dengan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Sementara pada Pasal 3 dijelaskan korupsi ialah menyalahgunakan wewenang jabatan publik untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi. 

Adapun faktor yang biasanya membuat kepala desa terjebak dalam tindak pidana korupsi adalah karena tingginya biaya politik pada saat turun gelanggang pemilihan kepala desa. Akibatnya, setelah menjabat, kepala desa cenderung memanfaatkan dana desa yang jumlahnya sangat besar untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan.

Sementara itu, modus yang biasa digunakan untuk berkorupsi umumnya sangat sederhana. Misalnya, dengan menggelembungkan anggaran, penggelapan kegiatan, dan proyek fiktif. Ironisnya, modus-modus ini seringkali tidak dimengerti oleh kepala desa dan perangkatnya bahwa kegiatan tersebut masuk ke dalam ranah tindak pidana korupsi. 

Di sisi lain, Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kuswidjanto Sudjadi menjelaskan, sejak tahun 2015-2022, pemerintah pusat telah mengucurkan dana desa sekitar Rp486 triliun untuk pembangunan desa dan meningkatkan level kehidupan masyarakat. 

Sayangnya, besarnya dana desa tersebut belum dimanfaatkan secara optimal. Catatan KPK menunjukkan banyaknya korupsi di dalam pengelolaan dana desa, yang bahkan bisa jadi melebihi tingkat korupsi yang terjadi di perkotaan. 

“KPK berkepentingan untuk datang ke desa. Kita harus samakan persepsi apa itu kejahatan korupsi dan apa itu permasalahan yang ada di desa lalu upaya apa yang bisa dilakukan. Kalau kita mengacu dari beberapa faktor terjadi tindak pidana korupsi karena ketidaktahuan,” kata Kumbul.

Atas dasar itu, Kumbul berujar melalui program Desa Antikorupsi diharapkan bisa mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Dimana program ini bertujuan untuk membuat tata kelola dana desa dan kehidupan di desa jauh dari tindak pidana korupsi. 

Setidaknya terdapat lima indikator desa antikorupsi. Pertama, penguatan tata laksana aturan, kedua, penguatan pengawasan, ketiga, penguatan pelayanan publik, keempat, partisipasi masyarakat, dan kelima, kearifan lokal. “Harapannya tidak ada lagi korupsi di desa,” ujarnya. 

Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen menyampaikan apresiasi kepada KPK karena telah hadir di Jawa Tengah dan memberikan pembekalan kepada para kepala desa. Musababnya, anggaran dana desa di Provinsi Jawa Tengah dari tahun ke tahun cenderung mengalami kenaikan sehingga diperlukan pendampingan agar pengelolaannya bersih, transparan, dan akuntabel.

Pada tahun 2015, Jawa Tengah mendapatkan kucuran dana desa sebesar Rp2,2 triliun, 2016 Rp5 triliun, 2017 Rp6 triliun, 2018 Rp6,7 triliun, 2019 Rp7,8 triliun. Sementara dari tahun 2020 hingga tahun 2022 angkanya bertahan di Rp8,1 triliun.  

Tidak hanya itu, Pemprov Jawa Tengah juga mengalokasikan anggaran untuk peningkatan ketahanan masyarakat, peningkatan sarana prasarana desa, pembangunan kawasan pedesaan, operasional kader, dan pemberdayaan desa yang bertujuan untuk mendukung kemajuan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengetahui anggaran sebesar itu digunakan untuk apa saja. Akibatnya pengawasan yang harusnya dilakukan oleh masyarakat tidak berjalan dengan maksimal. 

“Karena sekarang sudah di era keterbukaan, semua keuangan dan pekerjaan itu sudah bisa dibaca. Maka dengan keterbukaan saya berharap bahwa kita juga bisa ikut antisipasi terhadap permasalahan antikorupsi yang ada di pemerintahan kita masing-masing,” ujarnya.

Dengan melakukan hal tersebut, Taj Yasin percaya masyarakat desa khususnya di Jawa Tengah akan berdaya dan akan menumbuhkan perekonomian. Pada akhirnya masyarakat desa juga akan sejahtera dalam kehidupannya. “Kepala desa harus menjaga ketokohannya karena masyarakat memiliki harapan untuk sebuah pembangunan,” jelas Taj Yasin.

Tags:

Berita Terkait