Kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu BPK Minta Dibatalkan
Berita

Kewenangan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu BPK Minta Dibatalkan

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Kuasa hukum pemohon mendaftarkan berkas uji materi UU BPK ke MK. Foto: AID
Kuasa hukum pemohon mendaftarkan berkas uji materi UU BPK ke MK. Foto: AID

Kewenangan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), yang tertuang dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pasal 4 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, khususnya frasa “Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT),” diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh ahli hukum dari Universias Tarumanagara yakni Ahmad Redi dan ahli hukum dari Universitas Pancasila Muhammad Ilham Hermawan.

 

Keduanya merasa hak konstitusional mereka dirugikan dengan adanya aturan ini. Sebab, aturan ini menimbulkan persoalan khususnya saat mendapat status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), tapi masih dapat di PDTT. Sehingga meresahkan tanggung jawab mereka sebagai seorang intelektual yang kerap memberikan pendapat hukumnya melalui media massa, mengisi training tentang legislative drafting di DPR, kementerian-kementerian maupun di lembaga negara lainnya, serta menyampaikan kritik yang bersifat konstruktif kepada lembaga penyelenggara pemerintahan.

 

Kuasa Hukum Pemohon, Victor Santoso Tandiansa mengatakan, kewenangan pemeriksaan BPK dalam tujuan tertentu menimbulkan persoalan. “Karena kewenangan tersebut tidak memiiki kejelasan makna atas tujuan tertentu yang dimaksud, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum serta melanggar prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan,” kata Victor di Gedung MK, Kamis (29/08).

 

Pasal 6 ayat (3) UU BPK menyatakan, “Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu”.Sedangkan Pasal 4 ayat (1) UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung-jawab Keuangan Negara menyatakan, “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.”

 

Victor berpendapat UU BPK sebagai UU organiknya tidak memberikan penjelasan terkait dengan PDTT. Namun, pengertian PDTT dijelaskan pada huruf B angka 3 dalam bagian penjelasan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung-jawab Keuangan Negara, yang merupakan tindak lanjut dari UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara. Penjelasan PDTT yang dimaksud adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.

 

Selain itu, kata dia, basis kewenangan konstitusional BPK ialah pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara, yang bila dimaknai secara tekstual gramatikal maka makna frasa Pengelolaan dan Tanggung Jawab tentang Keuangan Negara yang menjadi wewenang konstitusional BPK ialah pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.

 

“Sehingga, bila ada wewenang lain di luar wewenang itu maka sejatinya, kewenangan itu inkonstitusional, karena telah memperluas kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 secara eksplisit dan limitatif,” kata dia.

 

Baca:

 

Ia memaparkan, kewenangan PDTT dalam UU BPK diatur lebih lanjut dalam Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang kemudian dijelaskan secara rigid dalam Lampiran VII tentang Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu serta Lampiran VIII tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu.

 

"Namun, kemudian Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007 diubah dengan Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017 yang dalam Lampirannya tidak lagi memasukkan tentang standar pelaksanaan pemeriksaan dengan tujuan tertentu, serta lampiran tentang standar pelaporan pemeriksaan dengan tujuan tertentu,” urainya.

 

Bahkan, kata dia, dalam ketentuan Pasal 10 Peraturan BPK No. 1 Tahun 2007 menyatakan, saat Peraturan BPK ini mulai berlaku, Peraturan BPK ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. “Artinya, pengaturan serta penjelasan terkait tentang PDTT telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” tandasnya.

 

Hal ini, tentunya telah membuat keberadaan kewenangan PDTT dalam aturan ini yang ingin diuji saat ini, semakin menimbulkan ketidakpastian hukum. Apalagi, jika ketentuan teknis PDTT diatur di bawah Peraturan BPK, yakni Keputusan BPK dan/atau Keputusan Ketua BPK bersifat konkrit dan individual (Beschikking). Ini tentunya telah melanggar asas-asas Keputusan TUN.

 

Berdasarkan alasan di atas, Victor menegaskan kewenangan PDTT yang diatur dalam ketentuan ini, merupakan kewenangan pemeriksaan yang dimiliki oleh BPK di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja, yang dinyatakan dalam huruf B angka 3, pada bagian Penjelasan UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung-jawab Keuangan Negara bertentangan dengan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, karena merupakan bentuk penambahan kewenangan yang telah diatur secara limitatif dalam ketentuan norma Pasal 23E ayat (1) UUD 1945.

 

Tidak hanya itu, ia mengatakan, ketentuan ini juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena tidak memberikan kepastian hukum, sebagaimana menjadi prinsip utama dalam negara hukum sesuai Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Hal ini dikarenakan tidak adanya kejelasan makna PDTT, maupun ketentuan yang menjadi batasan dpaat dilakukannya PDTT terhadap lembaga negara atas pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.

 

Oleh karena itu, Victor meminta kepada Mahkamah, agar Pasal 6 ayat (3) UU BPK terhadap frasa “dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu” bertentangan dnegan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Serta, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jwab Keuangan Negara terhadap frasa “dan Pemeriksaan dengan tujuan tertentu,” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Tags:

Berita Terkait