Klasifikasi Produk yang Wajib dan Tak Diwajibkan Bersertifikasi Halal
Urgensi Sertifikasi Halal

Klasifikasi Produk yang Wajib dan Tak Diwajibkan Bersertifikasi Halal

Tak hanya komposisi bahan, hal-hal terkait produksi sebuah produk juga harus jelas kehalalannya.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Undang-undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) telah mewajibkan setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikasi halal (vide; Pasal 4). Tak hanya diwajibkan mencantumkan label halal, pelaku usaha yang mengedarkan dan memperdagangkan produk tidak halal juga diwajibkan mencantumkan keterangan tidak halal pada produk usahanya (vide; Pasal 26 ayat (2)).

 

Bila kedapatan tidak mencantumkan keterangan tidak halal, dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan; peringatan tertulis; atau bahkan bisa dikenakan denda. Ketentuan itu dijabarkan lebih lanjut dalam PP No.31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH. Dalam PP a quo diatur batasan-batasan terkait produk apa saja yang wajib dan tidak diwajibkan bersertifikasi halal.

 

Kasub verifikasi dan Penilaian Kehalalan Produk, Fitriah Setia Rini, menjelaskan kategori produk yang diwajibkan bersertifikat halal terdiri atas Barang dan Jasa. Untuk kategori barang jenisnya meliputi makan dan minuman; obat; kosmetik; produk kimiawi; produk biologi; produk rekayasa genetik; dan barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan.

 

Sedangkan kategori Jasa, jenis produk wajib bersertifikasi halal meliputi layanan usaha terkait jasa penyembelihan; pengolahan; penyimpanan; pengemasan; pendistribusian; penjualan; dan penyajian.

 

Penting dicatat, barang gunaan yang wajib sertifikasi halal hanya berlaku bagi barang yang berasal dari dan/atau mengandung unsur hewan, baik itu dipakai sebagai sandang, penutup kepala, aksesoris atau digunakan sebagai peralatan rumah tangga, perbekalan kesehatan rumah tangga, kemasan makanan dan minuman, alat tulis dan perlengkapan kantor, maupun barang gunaan yang dimanfaatkan sebagai alat kesehatan.

 

Menurutnya, sertifikasi halal barang gunaan menjadi penting mengingat ketika makanan dan minuman telah bersertifikasi halal maka hal yang terkait atau bersentuhan dengan itu juga harus bersertifikasi halal. “Itu logikanya. Jadi tak hanya komposisi bahan yang penting dipastikan kehalalannya, hal-hal terkaitnya juga harus jelas,” ujar Fitriah.

 

Misalnya, kertas alumunium foil yang kerap digunakan sebagai pembungkus makanan. Bila dalam pembuatannya mengandung unsur hewan maka kewajiban sertifikasi halal menjadi berlaku untuk barang itu.

 

(Baca: Bersertifikasi atau ‘Tersisih’ oleh Produk Halal Impor)

 

Ia juga menjelaskan masuknya rekayasa genetika sebagai produk yang wajib sertifikasi halal, soalnya dalam titik kritis pada proses rekayasa genetika terjadi pemisahan dengan menggunakan enzim, plasma-plasma dan ada juga yang menggunakan katalisator dari bahan yang tidak halal. “Itu yang harus kita cek,” katanya.

 

Sebagai catatan penting, Fitriah menyebut untuk jenis produk rekayasa genetika dan produk kimiawi, yang wajib bersertifikat halal hanya yang terkait dengan makanan, minuman, obat atau kosmetik.

 

Diterapkan Bertahap

Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal menyatakan bahwa per 17 Oktober 2019 seluruh produk harus bersertifikat halal bagi yang memenuhi ketentuan sertifikasi halal. Pemerintah memberikan tenggat 5-7 tahun kepada pelaku usaha untuk menerapkan aturan jaminan produk halal (JPH), sejak ketentuan itu diberlakukan pada 17 Oktober 2019.

 

Periode waktu yang diberikan untuk produk selain makanan dan minuman menjadi 17 oktober 2026. Sedangkan untuk makanan dan minuman waktu pengajuan sertifikasinya dibatasi lebih cepat, yakni 5 tahun menjadi 17 Oktober 2024. Khusus untuk produk obat-obatan tertentu dengan kelas risiko tertentu, waktu penahapannya bisa mencapai 10 sampai 15 tahun. Tergantung jenis obat dan risikonya.

 

“Di situ kita beri kesempatan pelaku usaha untuk berproses mengajukan sertifikasi. Jangan sampai nanti mendekati masa time limit-nya habis baru mengajukan, itu nanti bisa dikenakan sanksi,” kata Fitriah.

 

Hukumonline.com

Sumber: Materi Presentasi Kemenag RI

 

Dia menjelaskan bahwa implementasi penahapan ini mempertimbangkan beberapa aspek di antaranya produk-produk yang telah bersertifikasi halal sebelum UU JPH berlaku, masifnya konsumsi atas suatu produk yang tergolong kebutuhan primer, kesiapan pelaku usaha, kesiapan infrastruktur pelaksana jaminan produk halal dan mempertimbangkan juga kondisi produk-produk dengan titik kritis ketidakhalalan yang tinggi.

 

“Untuk obat, produk biologi dan alat kesehatan terkadang memang asal bahan baku halalnya belum ditemukan atau sulit ditemukan. Untuk itu dalam prosedur pentahapannya, bisa ketiga produk itu bahan bakunya belum bersumber dari bahan halal dan/atau cara pembuatannya belum halal, maka tetap dapat beredar dengan catatan harus mencantumkan informasi asal bahan sampai ditemukannya bahan yang halal dan/atau cara pembuatannya halal,” urai Fitriah.

 

Dia menambahkan bila sudah memenuhi persyaratan keamanan, kemanfaatan, mutu, kehalalan bahan baku dan cara pembuatan, ketiga jenis produk itu wajib mengajukan sertifikasi halal.

 

Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, Siti Aminah, mengatakan pentahapan pelaksanaan kewajiban sertifkasi halal tidak berlaku bagi produk yang kewajiban kehalalannya sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan maupun produk yang sudah bersertifikat halal sebelum UU JPH berlaku.

 

Dia melanjutkan bahwa salah satu yang dipersiapkan mengenai ketersediaan auditor halal. Saat ini, sebanyak 112 auditor halal telah memenuhi uji kompentensi untuk bertugas memastikan produk-produk yang beredar di masyarakat memenuhi persyaratan halal. Jumlah tersebut akan bertambah sebanyak 60 auditor dalam waktu dekat. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menargetkan sebanyak 25.000 auditor telah tersedia hingga 2024-2025.

 

BPJPH juga mempersiapkan LPH sebagai tempat bagi pelaku usaha mengajukan produknya untuk dipastikan kehalalannya. Lembaga ini terdiri dari LPH pemerintah dan LPH swasta yang diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum. Kemudian, universitas juga dapat mendaftarkan diri untuk menjadi LPH.

 

Selain itu, Kementerian Agama juga akan mengeluarkan aturan menteri untuk ketentuan lebih rinci dan memberi kepastian hukum. Salah satu ketentuan yang diatur dalam aturan menteri tersebut mengenai sanksi bagi pelaku usaha yang tidak menjalankan jaminan produk halalnya.

 

“Kami sudah menyelesaikan RPMA (Rancangan Peraturan Menteri Agama). Kalau tidak ada perubahan Juli ini disahkan,” jelas Siti.

 

Prosedur Perolehan Sertifikat Halal

Kepala Sub Bidang Verifikasi dan Penilaian Halal Produk BPJPH Kementerian Agama, Fitriah Setia Rini, menerangkan bagaimana prosedur bagi pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikasi halal.  

 

Hal pertama yang harus dilakukan pelaku usaha adalah mengajukan permohonan sertifikat halal secara tertulis kepada BPJPH. Permohonan ini harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen berupa data pelaku usaha; nama dan jenis produk; daftar produk dan bahan yang digunakan serta proses pengolahan produk. Selanjutnya, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang telah terakreditasi oleh BPJPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap produk dan menyampaikan hasilnya kepada BPJPH.

 

Setelah itu, BPJPH akan melakukan verifikasi atas hasil pemeriksaan LPH untuk selanjutnya diserahkan kepada MUI. MUI lah juga akan mengkaji hasil verifikasi BPJPH melalui sidang fatwa halal untuk menetapkan kehalalan produk. Hasil sidang MUI, bisa berupa keluarnya keputusan penetapan halal, bisa juga berupa penetapan tidak halal.

 

Bila halal, maka paling lambat 7 hari kerja sertifikat akan diterbitkan, sementara bila tidak halal maka proses permohonan bisa dilakukan kembali dari awal bila komponen-komponen ketidak halalan yang sebelumnya ditolak telah dirubah. Berikut bagan lengkapnya:

 

Hukumonline.com

Sumber: Materi Presentasi Kemenag RI

 

Nantinya, kata Fitri, pendaftaran bisa dilakukan di BPJPH baik secara manual ataupun online. Tapi Ia menyebut pihaknya akan memprioritaskan pendaftaran secara online, sehingga semua data bisa tersimpan otomatis. Hasilnya, nanti saat ada pengajuan baru atau perpanjangan sertifikasi oleh pelaku usaha lama, maka data-data yang telah ada bisa otomatis terkoneksi, jadi tidak diperlukan lagi input ulang data.  Bahkan pendaftaran manual itu, hanya namanya saja manual, input sistemnya juga dilakukan oleh BPJPH ke dalam sistem online.

 

Sasarannya memang membantu pelaku usaha mikro yang tidak memiliki akses elektronik untuk masuk ke sistem online, jadi BPJPH disitu akan membantu untuk input sistem onlinenya. Setelah pendaftaran di Bpjph, pelaku usaha masuk ke pemeriksaan oleh LPH sesuai dengan ruang lingkup dan kompetensi yang sesuai dengan produk yang akan diajukan sertifikat halalnya. LPH bisa berupa LPH pemerintah dan LPH masyarakat, LPPOM MUI juga disebut langsung berfungsi sebagai salah satu LPH, namun tidak ada LPH dari BPJPH.

 

“Intinya bisa dari badan POM, kementerian kesehatan, kementan atau kementerian agama juga bisa. Kemenag tapi dalam bentuk universitas (seluruh UIN) yang berada di bawah kemenag. Untuk persyaratannya sama, baik LPH kementerian maupun LPH masyarakat,” jelasnya

 

Alur Sertifikasi Halal Produk Impor

Tak ada perbedaan perlakuan antara produk lokal maupun impor, semua produk sama-sama wajib bersertifikat halal atau mencantumkan keterangan tidak halal dalam kondisi produk yang dikeluarkan memang tidak halal.

 

Hanya saja, untuk produk luar negeri yang telah memperoleh sertifikat halal dari negara asal, bilamana sertifikasi dikeluarkan oleh lembaga penerbit sertifikat halal negara asal/ Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN) yang telah diakui oleh negara setempat dan telah terakreditasi oleh lembaga akreditasi negara asal, maka produk tersebut bisa diedarkan menggunakan logo halal dari LHLN itu.

 

Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal, Siti Aminah, mengatakan bahwa pelaku usaha tak perlu mengulang kembali proses sertifikasi halal di Indonesia, cukup dengan meregistrasikan produk bersertifikasi halal keluaran LHLN tersebut ke BPJPH sebelum diedarkan. Selanjutnya, BPJPH akan mengeluarkan nomor registrasi yang wajib dicantumkan oleh pelaku usaha berdekatan dengan label halal pada kemasan produk; bagian tertentu dari produk atau tempat tertentu pada produk.

 

Adapun berkas yang harus dilampirkan pelaku usaha saat melakukan registrasi SHLN kepada BPJPH sebagai berikut:

  1. Salinan Sertifikat Halal Luar Negeri Produk bersangkutan yang telah disahkan oleh perwakilan Indonesia di luar negeri;
  2. Daftar barang yang akan diimpor ke Indonesia dilengkapi dengan nomor kode sistem harmonisasi; dan
  3. Surat pernyataan yang menyatakan dokumen yang disampaikan benar dan sah.

 

Catatan penting untuk memastikan sertifikat LHLN diakui di Indonesia, diterangkan Aminah bahwa lembaga akreditasi setempat yang mengeluarkan pengakuan akreditasi terhadap LHLN harus telah bekerjasama dengan Lembaga Non Struktural yang menyelenggarakan tugas pemerintah di bidang akreditasi di Indonesia, yakni Komite Akreditasi Nasional (KAN).

 

Selain saling pengakuan akreditasi, LHLN yang bersangkutan juga harus telah menyepakati perjanjian saling berketerimaan sertifikat halal, sehingga tak hanya produk LHLN itu yang diterima di Indonesia namun produk Indonesia yang akan masuk ke negara tersebut juga harus diterima.

 

“Perjanjian keberterimaan terhadap sertifikat halal luar negeri itu dilakukan oleh BPJPH dengan berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Menteri Agama dan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang urusan luar negeri yang berlaku timbal balik,” jelasnya.  

 

Tags:

Berita Terkait