Koalisi Masyarakat Sipil Kecewa, Proses Revisi UU ITE Mengabaikan Partisipasi Bermakna
Terbaru

Koalisi Masyarakat Sipil Kecewa, Proses Revisi UU ITE Mengabaikan Partisipasi Bermakna

Rapat kerja pembahasan revisi kedua UU ITE kerap dilakukan secara tertutup. Masyarakat sipil sampai sekarang belum menerima draf final RUU ITE yang disepakati dalam pembicaraan tingkat I.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peneliti PSHK Indonesia, Alviani Sabillah saat memaparkan pandangannya dalam konfrensi pers atas RUU ITE, Rabu (22/11/2023). Foto: Tangkapan layar zoom
Peneliti PSHK Indonesia, Alviani Sabillah saat memaparkan pandangannya dalam konfrensi pers atas RUU ITE, Rabu (22/11/2023). Foto: Tangkapan layar zoom

Pengambilan keputusan di tingkat pertama antara Komisi I dan pemerintah terhadap perubahan kedua atas UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) disepakati memboyong ke dalam rapat paripurna untuk disetujui menjadi UU. Kendati Revisi Undang-Undang (RUU) ITE telah lama disuarakan masyarakat sipil, hasilnya masih dirasa belum sesuai harapan. Ironisnya, sedari awal pembahasan hingga pengambilan keputusan tingkat pertama, prosesnya mengabaikan partisipassi publik secara bermakna.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Alviani Sabillah, mengatakan pembahasan revisi kedua UU 11/2008 di DPR yang minim partisipasi publik memberi sinyal kuat terjadinya kemunduran ruang gerak bagi masyarakat. Pembahasan yang dilakukan pemerintah dan DPR terhadap revisi kedua UU 11/2008 kerap dilakukan secara tertutup.

Ironisnya, alasan pembahasan tertutup itu sifatnya sangat subyektif. Padahal, RUU yang dibahas dipastikan bakal berdampak bagi masyarakat luas. Apalagi selama ini sejumlah pasal UU ITE kerap digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat. “Pembahasan di tingkat I DPR kecenderungannya memperkecil ruang masyarakat sipil untuk melaksanakan kebebasan berpendapat dan berekspresi,” kata Alviani dalam konferensi pers, Rabu (22/11/2023) kemarin.

Alviani mengingatkan UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memandatkan keterlibatan dan partisipasi masyarakat untuk didengar pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya dan mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Baca juga:

Langkah yang perlu diupayakan masyarakat sipil antara lain terus menyuarakan pentingnya menghapus pasal bermasalah di UU ITE yang kerap digunakan untuk menjerat masyarakat. Sebagai momentum memperkuat ruang demokrasi dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Senada, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mencatat ada penambahan ketentuan atau pasal yang berpotensi menambah jerat pemidanaan atau pasal karet UU ITE. Menambah kewenangan bagi pemerintah untuk memutus akses informasi elektronik yang dianggap melanggar hukum tanpa ada dasar yang jelas. Padahal dalam kasus pemutusan akses internet di Papua tahun 2019, pengadilan menyatakan pemerintah bersalah dan melakukan pelanggaran hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait