KUHP Baru Tidak (Jadi) Melanggar Asas Legalitas
Kolom

KUHP Baru Tidak (Jadi) Melanggar Asas Legalitas

Kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan Pasal 2 ayat (2) dalam KUHP baru.

Bacaan 6 Menit

Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

Selain itu, ancaman hukuman (sanksi) bagi pelanggaran pidana adat-pun dibatasi, hanyalah pidana tambahan berupa “pemenuhan kewajiban adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf f” (Pasal 597 ayat (1)).

Terlihat bahwa pembuat KUHP baru berusaha menghindari kondisi-kondisi negatif yang dapat muncul akibat pemberlakuan pidana adat, antara lain: pertama, terjadinya pemaksaan nilai-nilai hukum masyarakat lokal kepada seluruh masyarakat (skala nasional) yang mungkin tidak mengetahui keberadaan (atau tidak setuju) dengan nilai-nilai tersebut.

Kedua, munculnya dualisme hukum (yakni jika hukum adat mengatur pula perbuatan yang telah dianggap pidana menurut KUHP) sehingga berpotensi mengakibatkan ketidakjelasan atau diskrimininasi dalam penerapannya. Ketiga, diterapkannya hukum lokal yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai dan hak-hak mendasar masyarakat yang telah dijamin oleh dasar negara dan prinsip-prinsip hukum umum.

Keempat, diterapkannya jenis sanksi atau hukuman yang berlebihan (setidaknya yang lebih berat dari sanksi pidana tambahan pemenuhan kewajiban adat) atau sanksi lain tidak sejalan dengan nilai-nilai masyarakat saat ini. Namun, terlepas dari niat baik di atas, pembatasan butir kedua dan keempat di atas justru membuat tujuan mengkriminalisasi perbuatan yang melanggar hukum adat menjadi tidak dapat dioperasionalisasikan sebagaimana akan dijelaskan di bawah.

Sanksi Adat sebagai Pidana Tambahan dan Implikasinya

Sebagaimana diketahui, KUHP baru mengatur tiga kelompok/bentuk sanksi pidana, yakni pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu (Pasal 64). Pidana pokok terdiri dari penjara, tutupan, pengawasan, denda dan kerja sosial (Pasal 65). KUHP baru juga memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan, bersama dengan pidana pokok, satu atau lebih pidana tambahan.

Jenis-jenis pidana tambahan tersebut adalah (Pasal 66 ayat (1)):

a. pencabutan hak tertentu;

b. perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti rugi;

e. pencabutan izin tertentu; dan

f. pemenuhan kewajiban adat setempat.

Pada prinsipnya, sifat pidana tambahan adalah pilihan. Ini berbeda dengan pidana pokok yang sifatnya wajib dijatuhkan hakim jika menyatakan terdakwa bersalah (kecuali jika hakim akan menjatuhkan tindakan) (Chazawi, 2001). Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 66 ayat (2) yang mengatur bahwa “Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdikenakan dalam halpenjatuhan pidanapokoksaja tidak cukupuntuk mencapai tujuan pemidanaan”. Penggunaan kata “dapat”, “dalam hal” dan “saja” di atas jelas menunjukkan sifat fakultatif dari penjatuhan pidana tambahan tersebut.

Tags:

Berita Terkait