KUHP Baru Tidak (Jadi) Melanggar Asas Legalitas
Kolom

KUHP Baru Tidak (Jadi) Melanggar Asas Legalitas

Kita tidak perlu khawatir dengan keberadaan Pasal 2 ayat (2) dalam KUHP baru.

Bacaan 6 Menit

Memang ada beberapa pengeculian di mana pidana tambahan wajib dijatuhkan hakim bersama dengan pidana pokok (khususnya pidana tambahan berupa perampasan barang tertentu). Dan di sinilah masalah krusial dari ke(tidak)mungkinan pemberlakukan pidana adat.

Karena perbuatan yang akan dilarang oleh pidana adat tidak boleh sama dengan perbuatan yang telah dinyatakan tindak pidana oleh KUHP, dan karena hakim hanya boleh menjatuhkan sanksi pidana pokok bagi perbuatan yang dianggap pidana oleh KUHP sedangkan pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan jika hakim menjatuhkan pidana pokok, bagaimana mungkin hakim dapat menjatuhi pidana tambahan (pemenuhan kewajiban adat) saja bagi pelanggaran hukum adat?

Ilustrasi Dilema Penerapan Pidana Adat

Untuk lebih mudah memahami penjelasan di atas, mari kita lihat ilustrasi berikut. Sebut saja X dianggap melakukan pelanggaran terhadap hukum adat Bali, lokika sanggraha – perbuatan di mana seorang laki-laki menghamili perempuan di luar pernikahan dengan janji mengawini tapi ternyata tidak dikawini. Apakah X dapat diproses hukum menggunakan Pasal 597 ayat (2) jo Pasal 2 ayat (2) KUHP baru?

Mungkin tidak, karena secara prinsip perbuatan yang dilarang menurut lokika sanggraha sudah diadopsi oleh hukum nasional terkait larangan zina (ingat bahwa Pasal 2 ayat (2) membatasi keberlakukan pidana adat hanya terhadap perbuatan yang tidak diatur dalam KUHP).

Namun bisa jadi penyidik, penuntut umum dan hakim berpandangan bahwa perbuatan zina dalam KUHP baru berbeda dengan lokika sanggraha karena yang terakhir memiliki unsur-unsur delik lain, yakni ada “kehamilan”, “janji menikahi” dan “tidak menikahi” –sehingga tidak terjadi dualisme hukum.

Dengan penafsiran di atas pun hakim tetap akan menghadapi jalan buntu saat akan menghukum pelaku. Sebagaimana dijelaskan, hukuman maksimal bagi pelanggaran hukum adat hanyalah pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat. Untuk dapat menjatuhkan pidana tambahan tersebut, hakim terlebih dahulu harus menganggap perbuatan X salah dan menjatuhkan salah satu pidana pokok yang diatur dalam KUHP baru (misalnya penjara). Karena hakim sudah menyatakan bahwa lokika sanggraha adalah pidana adat yang tidak ada padanannya dalam KUHP baru, atas dasar apa hakim akan menjatuhkan pidana pokok tersebut?

Legalisasi Pidana Adat Melalui Perda adalah Solusi?

Sebagai pihak beranggapan bahwa masalah di atas tidak akan terjadi karena nantinya pidana adat akan dilegalisasi oleh peraturan daerah (perda). Penjelasan Pasal 2 ayat (2) memang menyebutkan bahwa “Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, Peraturan Daerah mengatur mengenai Tindak Pidana adat tersebut”.

Tags:

Berita Terkait