Lika-Liku Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan oleh Masyarakat
Terbaru

Lika-Liku Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan oleh Masyarakat

Perpres Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan bisa digunakan sebagai acuan menyelesaikan dan memberi perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Safitri. Foto: ADY
Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Safitri. Foto: ADY

Kawasan hutan acapkali dianggap sebagai wilayah yang bersih dari kegiatan masyarkat. Padahal faktanya tidak sedikit masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan hutan. Kondisi tersebut rawan menimbulkan konflik, terutama ketika pemerintah memberikan izin kepada pihak lain untuk memanfaatkan kawasan hutan tersebut.

Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) Myrna Safitri, mengatakan selama ini penguasaan masyarakat terhadap tanah di kawasan hutan menjadi persoalan yang rumit diselesaikan. Apalagi ada fragmentasi hukum antara rezim kawasan hutan dengan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dianggap berada di luar kawasan hutan. Untuk mengatasi persoalan fragmentasi itu Myrna mendorong untuk dilakukan integrasi menjadi satu administrasi pertanahan.

“Soal penguasaan tanah di kawasan hutan ini terjadi karena ada asumsi kawasan hutan itu bersih dari penguasaan masyarakat,” katanya dalam acara peluncuran buku dan talkshow memperingati Ulang Tahun ke-80 Prof Maria SW Sumardjono, Sabtu (27/05/2023) akhir pekan kemarin.

Baca juga:

Myrna melihat selama ini dalam proses pembentukan kawasan hutan mulai dari penunjukkan, tata batas, pemetaan, dan lainnya dianggap selesai. Tapi faktanya banyak kawasan hutan yang statusnya masih dalam tahap penunjukan. Sehingga proses penguasaan kawasan hutan itu belum selesai secara tuntas. Persoalan ini memicu terhadinya sengketa dan perlu dicari cara untuk menyelesaikannya.

Awalnya, tahun 2014 berbagai pihak termasuk Prof Maria SW Sumardjono bersama KPK terlibat dalam tim pakar penyelamatan sumber daya alam agar masalah yang ada bisa diselesaikan melalui produk hukum. Pada tahun yang sama terbit Peraturan Bersama Menteri Kehutanan, Pekerjaan Umum, dan Kepala BPN yang intinya menerbitkan aturan untuk meyelesaikan penguasaan tanah di kawasan hutan. Peraturan Bersama itu kemudian dicabut setelah terbit Perpres No.88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan

Myrna menegaskan Perpres 88/2017 merupakan payung hukum untuk menyelesaikan masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Kendati beleid ini menuai pro dan kontra di masyarakat, tapi yang jelas ada upaya untuk mendorong penyelesaian masalah yang selama ini belum ditangani secara baik. Aturan ini perlu disempurnakan untuk diperkuat dan dilerluas sehingga kawasan hutan yang ada mampu memberikan kepastian hukum dan keadilan.

Selain itu Myrna melihat ada pandangan yang menilai jika tanah yang dikuasai masyarakat di dalam kawasan itu diberikan hak atas tanah, maka hal itu mengancam lingkungan hidup. Asumsi tersebut berpendapat setelah mendapat pengakuan hak atas tanah masyarakat menjadi bebas untuk menggunakan tanah.

Tapi faktanya tidak seperti itu, apalagi jelas Pasal 15 UU 5/1960 menyebutkan, “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.”

Pasal tersebut menurut Myrna menjelaskan UU 5/1960 berpihak pada perlindungan lingkungan hidup. Ketentuan itu melekat pada semua bentuk pemberian hak atas tanah. Pemegang hak bertanggungjawab untuk menjaga lingkungan hidup. Penyelesaian konflik atas penguasaan tanah di kawasan hutan ini bagi Myrna harus terhubung dengan tata ruang.

Dia beralasan karena salah satu instrumen penting mengendalikan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Begitu juga UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur lingkungan hidup harus dilindungi dan dijaga serta mematuhi tata ruang.

Pada kesempatan yang sama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto,  mengatakan penguasaan tanah oleh masyarakat di kawasan hutan merupakan salah satu persoalan yang perlu dituntaskan. Dia menyebut kerap disambangi berbagai masyarakat hukum adat yang meminta kepastian hukum.

Salah satunya terkait tanah adat. Setelah berdiskusi dengan Prof Maria SW Sumardjono, Hadi kemudian menerbitkan Peraturan Menteri yang intinya mengatur penatausahaan tanah ulayat bagi masyarakat hukum adat.  “Paling tidak melalui peraturan itu saya bisa melindungi tanah ulayat,” pungkas mantan Panglima TNI itu.

Tags:

Berita Terkait