MA Minta Vonis Mati Tak Diobral
Berita

MA Minta Vonis Mati Tak Diobral

Perbedaan pendapat soal hukuman mati dinilai masih logis.

ASH
Bacaan 2 Menit
MA Minta Vonis Mati Tak Diobral
Hukumonline

Ketua MA M Hatta Ali mengimbau para hakim agar tidak sembarangan dalam menjatuhkan hukuman (vonis) mati bagi pelaku tindak pidana. Sebab, penerapan hukuman mati terutama yang berkaitan dengan tindak pidana khusus, harus memenuhi syarat-syarat yang ketat. Misalnya, untuk pengedar narkoba, terdakwa dapat divonis mati dengan syarat kejahatannya bersifat terorganisir dan terkait narkoba golongan I.

“Sama halnya, hukuman mati kasus korupsi juga harus memenuhi syarat Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni dalam keadaan bencana alam dan sangat menggangu perekonomian negara. Makanya, hukuman mati jangan diobral, tetapi harus selektif betul,” kata Hatta dalam acara Workshop Jurnalis di Bogor, Sabtu (16/3).           

Pernyataan ini menanggapi fakta adanya inkonsistensi hakim agung dalam menerapkan vonis hukuman mati terkait perkara-perkara narkoba yang dikategorikan berat. Seperti Majelis PK yang diketuai Imron Anwari pernah membatalkan vonis mati pemilik pabrik narkoba asal Surabaya Hanky Gunawan menjadi 15 tahun penjara. Namun, dalam perkara lain Imron juga pernah menjatuhkan vonis mati.

Menurut Hatta, inkonsistensi dalam penjatuhan hukuman mati dapat dipengaruhi pandangan hakim yang memutus perkara. Selain itu, inkonsistensi juga dimungkinkan terjadi karena suatu perkara diputus oleh majelis hakim yang berjumlah tiga orang. Artinya, jika seorang hakim berpendapat perlunya diterapkan hukuman mati, tetapi dua hakim lain tidak setuju, maka vonis mati tidak dapat diterapkan.  

“Jika terjadi seperti itu, seorang hakim itu harus mengalah karena hanya satu suara atau sebaliknya. Bisa saja hakim itu mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda),” kata Hatta menjelaskan. 

Dia sendiri mengaku pernah dua kali menjatuhkan vonis mati terhadap pemilik pabrik ekstasi saat menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2002 dan selama menjadi hakim agung. “Kebetulan saat itu, musyawarah majelis sependapat untuk menjatuhkan vonis mati,” katanya.

Namun untuk vonis mati pengedar ekstasi di PN Tangerang yang dikuatkan putusan tingkat banding dan kasasi sampai sekarang belum dieksekusi. Dia sendiri tak ingin ambil pusing karena eksekusi itu bukan urusan pengadilan lagi, tetapi kewenangan eksekutor (kejaksaan).

“Saya tidak tahu sudah sejauh mana eksekusinya, yang jelas saya pernah lihat dia di televisi paranormal, mengobati narapidana dalam lembaga pemasyarakatan dan katanya banyak yang sembuh. Mungkin itu jadi pertimbangan kenapa dia belum dieksekusi mati,” ujarnya.

Dua Pendapat
Ditegaskan Hatta, penjatuhan hukuman mati tergantung perpektif (pandangan) hakim yang bersangkutan. Sebab, di kalangan hakim ada dua pendapat. Pendapat pertama setuju dengan penjatuhan hukuman mati karena secara normatif diatur dalam undang-undang. Sementara pendapat kedua, tidak setuju dengan penjatuhan vonis dengan alasan persoalan mati adalah hak mutlak Tuhan.   

“Apalagi dalam Pasal 28I UUD 1945 setiap warga negara dijamin hak untuk hidup. Jadi, sampai kapanpun sulit untuk menyatukan dua pendapat itu. Tetapi, kalau menurut saya yang penting ada hukum positifnya,” tegasnya.

Di tempat yang sama, mantan Ketua MA Prof Bagir Manan mengatakan perbedaan pendapat dalam penjatuhan hukuman mati dinilai masih logis. Soalnya, kedua pendapat memiliki dasar argumentasi. “Meski beberapa undang-undang tertentu mengatur adanya ancaman hukuman mati, hakim boleh saja tidak mau menjatuhkan hukuman mati karena hakim adalah pemegang diskresi (kewenangan) untuk menjatuhkan putusan,” kata Bagir.

Meski begitu, dia tak sependapat terhadap pandangan hukuman mati adalah semata hak Tuhan. Dia beralasan di beberapa negara Eropa seperti Belanda dikenal lembaga euthanasia (hak untuk mati), ketika ada seseorang tidak punya harapan hidup meminta untuk  mati. “Dia lebih memilih dipercepat mati daripada hidup tersiksa,” katanya.

Dia juga mencontohkan ada dua orang anak sekolah yang tertembak mati oleh seseorang. “Apa ini mati urusan Tuhan, sejak kapan penembak itu jadi Tuhan. Jadi dalil itu terlalu dogmatik, meski betul,” dalihnya.

Tags:

Berita Terkait