Mantan Hakim Konstitusi Soroti Ketentuan Evaluasi Dalam RUU Perubahan Keempat UU MK
Utama

Mantan Hakim Konstitusi Soroti Ketentuan Evaluasi Dalam RUU Perubahan Keempat UU MK

Evaluasi dan recall tidak ada dalam MK di berbagai negara. Evaluasi tak hanya per 5 tahunan tapi setiap saat, tapi dilakukan bukan oleh DPR.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Prof Jimly Asshiddiqie saat RDPU dengan Komisi III, Kamis (30/3/2023). Foto: Tangkapan layar youtube
Prof Jimly Asshiddiqie saat RDPU dengan Komisi III, Kamis (30/3/2023). Foto: Tangkapan layar youtube

Proses perubahan keempat UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) masih bergulir di DPR. DPR telah membentuk Panja untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU bersama pemerintah. Dalam pembahasan perubahan keempat UU MK itu Panja menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan mantan hakim konstitusi Prof Jimly Asshiddiqie dan Maruarar Siahaan untuk menjaring masukan.

Dalam kesempatan itu, Prof Jimly menyebut beberapa hal yang penting dalam RUU Perubahan Keempat UU MK yakni ketentuan mengenai evaluasi dan recall terhadap hakim konstitusi. Menurutnya dua ketentuan itu tidak ada dalam aturan MK di berbagai dunia. Tindakan DPR melakukan pencopotan terhadap hakim konstitusi Aswanto dinilai sebagai respon para politisi yang kecewa atas putusan MK.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu mengaku pernah merasakan seperti yang dialami Aswanto ketika menangani perkara yang bekaitan dengan anggaran pendidikan. Kala itu ada kemarahan dari kalangan eksekutif. “Tapi dalam perkara (pengujian,-red) UU Cipta Kerja eksekutif dan legislatif marah semua, ini pemecatan hakim konstitusi Aswanto tercermin juga dalam RUU (RUU Perubahan Keempat UU MK,-red) ini,” katanya dalam RDPU yang digelar di gedung MPR/DPR, Kamis (30/03/2023).

Baca juga:

Kemarahan terhadap MK menurut Jimly terjadi di negara yang baru mendirikan MK. Misalnya terjadi di Amerika Serikat (AS) tahun 1803, kala itu Ketua Mahkamah Agung AS dipimpin John Marshall yang membatalkan UU buatan badan legislatif AS atau Kongres. Banyak kalangan yang berpendapat tidak masuk akal di mana beberapa hakim bisa membatalkan produk demokrasi. Tak hanya parlemen, Presiden AS ketika itu Thomas Jefferson, juga memaki putusan MA tersebut.

“Hal seperti ini terjadi terjadi hampir di semua negara yang baru membangun MK,” ujarnya.

Oleh karena itu MK menandai bergulirnya demokrasi substantif. Jimly mengatakan yang bergulir selama ini adalah demokrasi prosedural di mana mayoritas punya peran yang sangat menentukan. Tapi mayoritas tidak selalu benar dan tidak selalu adil baik dalam hal mayoritas beragama dan politik. Oleh karena itu peran MK untuk mengimbangi regulasi yang dihasilkan mayoritas dengan hak-hak kalangan minoritas.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu menekankan, peran MK sangat penting untuk mengawal demokrasi. Ketika MK mengabulkan permohonan pengujian UU maka jangan respon itu dengan kemarahan pribadi. Untuk itu dalam membahas revisi UU MK keempat ini harus berpikir jangka panjang untuk masa depan demokrasi yang lebih baik. Ketentuan evaluasi dan recalling berpotensi merusak independensi MK. Untuk mengawasi MK, Jimly mengusulkan untuk memperkuat Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) yang berperan menjaga kehormatan institusi.

“Bab evaluasi dan recalling (RUU Perubahan Keempat UU MK,-red) ini gak benar, dicoret saja,” tegas Prof Jimly.

Senada, mantan hakim konstitusi lainnya Maruarar Siahaan, berpendapat salah satu ketentuan penting yang perlu disoroti dalam RUU Perubahan Keempat UU MK yakni evaluasi terhadap hakim MK. Menurutnya independensi bukan berarti tidak mempertanggungjawabkan kerja-kerja yang telah dilakukan. Mengacu pengawasan yudisial yang dilakukan berbagai negara, evaluasi yang dilakukan sifatnya bukan periodik tapi setiap saat. Banyak hal yang diawasi mulai dari kinerja sampai soal etik.

Persoalannya adalah, siapa yang melakukan pengawasan dan evaluasi tersebut?. Maruarar menegaskan yang jelas bukan DPR. Mekanisme evaluasi harus melalui prosedur yang jelas, begitu juga pengawasannya harus mengusung asas due process of law. Menurutnya KY merupakan lembaga yang tepat untuk melakukan pengawasan dan evaluasi tersebut. Dia menilai KY dapat masuk sebagai bagian dalam MKMK.

“Saya menerima (ketentuan pengawasan dan evaluasi,-red) sepanjang melaksanakan due process of law, tapi yang melakukan evaluasi bukan DPR. Ada KY yang bisa dimanfaatkan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait