Masyarakat Sipil Ingatkan 5 Poin Penting Otoritas PDP Independen
Terbaru

Masyarakat Sipil Ingatkan 5 Poin Penting Otoritas PDP Independen

Untuk memastikan legislasi Perlindungan Data Pribadi (PDP) setara dengan yang dimiliki negara anggota G20, seperti Jepang dan Korea Selatan. Salah satunya mengatur pembentukan Otoritas PDP yang independen.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES

Pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) masih bergulir di DPR. Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, mengatakan RUU PDP ditargetkan selesai pada masa persidangan V Tahun sidang 2021-2022. Dia mencatat pembahasan RUU PDP terakhir berlangsung Juni 2021 dengan hasil deadlock. Hal itu terjadi karena ada perbedaan pandangan antara DPR dan pemerintah yang diwakili Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Salah satu perbedaan pandangan berkaitan keinginan DPR untuk memasukan ketentuan tentang Otoritas PDP yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara itu, Kominfo mau Otoritas PDP berada di bawah lembaganya. Bersamaan hal tersebut bertepatan dengan Presidensi Indonesia dalam G20, pemerintah mematangkan usulan pengaturan arus data lintas negara (cross border data flows) sebagai salah satu usulan prioritas dalam kelompok kerja ekonomi digital (DEWG).

Wahyudi menegaskan UU PDP yang komprehensif merupakan prasyarat penting untuk menyokong ekonomi digital. Khususnya untuk membangun kepercayaan (trust) dalam arus data lintas negara. “Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara yang belum memiliki UU PDP yang komprehensif dengan diawasi Otoritas PDP yang independen,” kata Wahyudi Djafar ketika dikonfirmasi, Senin (23/5/2022).

Baca Juga:

Guna memiliki legislasi PDP yang setara dengan negara G20 lain, Wahyudi menekankan pemerintah dan DPR perlu mempercepat proses pembahasan RUU PDP. Diharapkan dapat selesai sebelum pertemuan G20. Penting untuk memastikan Otoritas PDP yang independen. Pengalaman Jepang dan Korea Selatan sebagai anggota G20 perlu menjadi pelajaran karena mereka mengamandemen UU PDP untuk membentuk Otoritas PDP yang independen.

Wahyudi mencatat sedikitnya ada 5 poin penting Otoritas PDP Independen. Pertama, UU PDP memiliki jangkauan material yang mengikat entitas publik dan privat, sehingga implementasinya hanya akan efektif jika diawasi oleh Otoritas PDP independen, bukan bagian dari kementerian. Kementerian juga merupakan bagian dari pengendali data, yang memiliki kewajiban kepatuhan pada UU PDP.

Otoritas PDP bukan bekerja untuk melayani kepentingan pemerintah, tapi mengawasi kepatuhan seluruh entitas pengendali data, termasuk pemerintah, terhadap hukum PDP. Jika Otoritas PDP diletakkan di bawah Kominfo, ini berarti bahwa Kominfo akan duduk sebagai “pemain sekaligus wasit” (pengendali data sekaligus pengawas terhadap dirinya sendiri dan pengendali data lainnya).

Kedua, meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian/lembaga, menurut Wahyudi menjadikan lembaga itu sangat bergantung sepenuhnya kepada sistem pemerintahan. Baik dari segi pengambilan keputusan, wewenang, pengisian

jabatan, hingga keuangan. Misalnya, ditempatkan di bawah Kominfo, tentu wewenangnya tidak akan bisa lebih luas dari tugas, fungsi, dan wewenang Kominfo, sebagaimana diatur oleh UU Kementerian Negara.

Padahal, urusan komunikasi dan informasi bukan urusan pemerintahan yang bersifat mutlak, sehingga terbuka peluang pembubaran atau peleburan Kominfo di masa mendatang. Sekalipun Otoritas PDP berdiri sebagai LPNK (Lembaga Pemerintah Non‐Kementerian), peluang pembubaran sewaktu‐waktu juga sangat terbuka. Mengingat, pada prinsipnya LPNK adalah institusi pemerintah, yang berada di bawah kendali eksekutif.

Dengan begitu, Otoritas PDP dapat dibubarkan Presiden, jika keberadaan lembaga ini dinilai tidak lagi sejalan dengan agenda politik dan prioritas Presiden yang sedang menjabat. “Ini menyebabkan Otoritas PDP tidak memiliki kedudukan yang pasti, terkait eksistensi dan keberlanjutannya,” lanjut Wahyudi.

Ketiga, menempatkan Otoritas PDP sebagai badan di bawah kementerian atau LPNK, akan berisiko besar terutama dalam pengambilan keputusan yang tidak efektif. Jika Otoritas PDP di bawah Kominfo, lalu siapakah pengambil keputusan tertinggi otoritas ini? Kepala otoritas atau Menteri Kominfo?

Jika bentuknya LPNK, kepemimpinannya bersifat tunggal berada pada kepala lembaga, sementara sebuah Otoritas PDP menghendaki model kepemimpinan lembaga yang bersifat kolegial‐kolektif. Model kepemimpinan kolegial‐kolektif menghendaki kelembagaan yang bersifat multi‐members commissioner, dengan ketua hanya sebagai spoke persons, bukan pengambil keputusan tertinggi.

Keempat, Wahyudi menilai tidak tepat usulan membentuk mekanisme pengawasan khusus terhadap Otoritas PDP, bila berada di bawah Kominfo, seperti halnya pengawasan terhadap Badan Intelijen Negara (BIN). Pembentukan Sub‐Komisi Pengawas Intelijen Negara dalam UU Intelijen Negara berangkat dari

argumentasi perlunya kontrol sipil demokratis (democratic civilian control) terhadap institusi intelijen.

Wahyudi menegaskan BIN adalah institusi sipil pada cabang kekuasaan pemerintah, yang bertugas memberikan informasi kepada Presiden, agar dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat (velox et exactus). Mengapa dibentuk pengawas khusus? Sebab ada pertimbangan kerahasiaan dalam kerja‐kerja intelijen negara. Berbeda dengan Otoritas PDP yang bekerja untuk memastikan semua sektor (pemerintah dan swasta) patuh pada UU PDP, dengan menekankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaannya.

Kelima, jika Otoritas PDP didudukkan sebagai institusi pemerintah, maka fungsi‐fungsi yang melekat dan seharusnya menjadi tanggung jawab lembaga ini, tidak akan bisa dilaksanakan secara efektif. Wahyudi mencontohkan peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas di bawah Kominfo atau LPNK tidak memiliki posisi hierarki yang jelas dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang‐Undangan. Hal ini akan berimplikasi menjadikan peraturan yang dibuat tidak memiliki kekuatan mengikat atau implementatif terhadap kementerian/lembaga atau bahkan swasta di luar sektor komunikasi dan informasi.

Salah satu fungsi penting Otoritas PDP adalah menerbitkan regulasi‐regulasi teknis dan pedoman yang akan menjangkau badan publik dan privat sebagai pengendali/pemroses data. Selanjutnya, terkait fungsi penyelesaian sengketa melalui ajudikasi non‐litigasi, juga menjadi problematik, mengingat wewenang ini secara pengaturan dan praktik hanya dimiliki oleh lembaga negara independen (LNS), seperti KPPU, Ombudsman, dan Komisi Informasi.

Menurut Wahyudi, Kominfo dan LPNK secara hukum tidak dimungkinkan untuk diberikan wewenang ajudikasi, dikarenakan mereka pada dasarnya adalah institusi pemerintah (eksekutif). Tanpa adanya wewenang melakukan ajudikasi non‐litigasi, Otoritas PDP yang dibentuk di bawah pemerintah tidak akan mungkin melakukan penjatuhan sanksi denda.

“Sebab penjatuhan sanksi denda hanya mungkin dilakukan melalui sebuah mekanisme ajudikasi, yang putusannya dapat dibanding ke pengadilan untuk memastikan adanya due process of law.

Tags:

Berita Terkait