Memposisikan Union Busting
Kolom

Memposisikan Union Busting

Tulisan ini memperlihatkan bagaimana satu ketentuan undang-undang, yaitu mengenai union busting, yang tercetak dengan kata-kata yang sama, namun menjadi konsep yang dipahami dan dijalankan secara berbeda oleh pekerja dan pengusaha.

Bacaan 2 Menit

 

Saat kita melihat hukum yang dalam bekerjanya dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, maka pandangan kita sudah beralih dari melihat hukum sebagai rumusan undang-undang saja (law in the books), dan kini melihatnya sebagai realitas sosial (law in action) yang bersifat relatif dan selalu mengalami pembaharuan secara berkesinambungan.

 

Penulis kutip pendapat Prof. Erlyn Indarti yang menguraikan hal ini sebagai berikut:

Hukum sejatinya adalah konstruksi mental yang bersifat relative, majemuk, beragam, intangible, lokal dan spesifik, walaupun elemen-elemen serupa dapat saja dijumpai pada individu, kelompok masyarakat, maupun budaya yang berbeda. Konstruksi mental tersebut dibangun melalui pengalaman kehidupan manusia, mulai dari kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara, hingga kehidupan antar-negara. Konstruksi terhadap hukum terjadi secara berkesinambungan sejalan dengan pengayaan informasi dan sofistikasi atau olah rasa sekalian manusia itu sendiri. Jadi hukum yang ada sebenarnya adalah konsensus, kesepakatan atau resultante relative di antara berbagai pemahaman, pendapat atau opini mengenai persoalan yang dihadapi, sesuai konteks ruang dan waktunya… konstruksi yang majemuk dan beragam dapat koeksis atau hidup berdampingan. Kendati demikian, revisi terhadap tiap-tiap konstruksi yang ada akan berlangsung secara berkelanjutan. Revisi, yang sejatinya rekonstruksi ini, terjadi manakala beragam konstruksi berada pada juxtaposition di dalam proses dialektikal. Akumulasi pengetahuan hukum terjadi manakala sebuah konstruksi hukum menjadi semakin informed and sophisticated melalui proses hermeneutical dan dialektikal.[4]

 

Dari kutipan kedua guru besar ilmu hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum tidak bisa hanya dimaknai sebagai rumusan kata-kata dalam undang-undang saja, tetapi juga sebagai fenomena sosial saat dijalankan dalam praktik. Sebagai fenomena sosial ini ia bersifat relatif dan majemuk serta mengalami proses rekonstruksi secara berkesinambungan melalui proses dialektika dalam masyarakat.

 

Melalui tulisan ini penulis akan mencoba memperlihatkan bagaimana satu ketentuan undang-undang, yaitu mengenai union busting, yang tercetak dengan kata-kata yang sama, namun menjadi konsep yang dipahami dan dijalankan secara berbeda oleh pekerja dan pengusaha. Adanya pandangan yang berbeda ini tidak lain adalah karena perbedaan kepentingan dan peran yang diemban oleh masing-masing pihak, yang oleh Prof. Satjipto disebut sebagai faktor-faktor yang memberikan beban pengaruh pada hukum.

 

Pandangan pihak pekerja dan pengusaha mengenai union busting dalam tulisan ini, penulis kumpulkan dari putusan-putusan pegadilan yang terkait dengan praktik union busting. Dokumen tersebut diperoleh dengan cara mengakses laman Mahkamah Agung RI melalui Direktori Putusan MA pada tanggal 3 Desember 2018 menggunakan kata kunci union busting. Dari putusan-putusan tersebut penulis kemudian mengidentifikasikan argumentasi pihak pengusaha dan pekerja, yang mencerminkan pandangan mereka yang majemuk tentang konsep union busting.  

 

Merujuk pada pendapat Prof. Erlyn Indarti di atas, argumentasi yang diajukan pihak pekerja dan pengusaha selama proses persidangan dipertemukan dan diadu. Dalam hal ini terjadilah proses dialektika yang kemudian mengarah pada proses rekonstruksi untuk memunculkan konsep baru mengenai union busting. Konsep baru ini terwujud dalam bentuk kaidah hukum yang termaktub dalam putusan pengadilan.

 

Pandangan Para Pihak tentang Union Busting

Pihak pekerja umumnya menggunakan konsep union busting sebagai pembelaan terhadap tindakan disiplin seperti misalnya PHK yang dikenakan pengusaha kepadanya. Sebagai contoh hal ini dapat dilihat dalam perkara Nomor 32/G/2012/PHI/PN.BDG, di mana pekerja yang kebetulan menjadi pengurus serikat pekerja di-PHK karena melakukan mogok kerja dan tindakan anarkhis berupa perusakan pagar.

Tags:

Berita Terkait