Memposisikan Union Busting
Kolom

Memposisikan Union Busting

Tulisan ini memperlihatkan bagaimana satu ketentuan undang-undang, yaitu mengenai union busting, yang tercetak dengan kata-kata yang sama, namun menjadi konsep yang dipahami dan dijalankan secara berbeda oleh pekerja dan pengusaha.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam gugatannya pekerja mendalilkan sebagai berikut:

Kebijakan sepihak pengusaha tersebut sangat jelas bertentangan dengan persyaratan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku. Sebab terhadap keterlibatan pekerja dalam mendirikan, membentuk serikat buruh, menjadi perencana, pelaksana dan terutama sebagai penanggung jawab aksi pemogokan kerja yang diikuti sekitar 287 orang pekerja sejak 30 Maret s/d September 2011, dijamin dan dilingdungi oleh ketentuan hukum yang berlaku, sebagaimana Pasal 4 ayat (2) huruf e UU No.21 tahun 2000 jo Pasal 144 UU No.13 tahun 2003.

 

Melalui argumennya ini pekerja hendak menyatakan bahwa terhadap tindakan yang dilakukan dalam kedudukannya sebagai pengurus serikat pekerja tidak dapat dikenakan tindakan disiplin, karena dilindungi oleh UU. Dengan kata lain pemberian tindakan disiplin oleh pengusaha adalah tidak sah dan merupakan bentuk union busting.

 

Argumen union busting juga digunakan oleh pekerja sebagai pembelaan dalam kasus PHK karena mangkir. Hal ini antara lain terlihat dalam perkara No.5 PK/Pdt.Sus/2013, di mana pekerja mendalilkan bahwa pekerja selaku pengurus serikat pekerja mengadakan pendidikan pemberdayaan serikat pekerja yang bekerja sama dengan dinas tenaga kerja setempat. Surat permohonan dispensasi kepada pengusaha tidak mendapat tanggapan, namun pekerja tetap mengikuti kegiatan tersebut. Ketika kembali masuk untuk bekerja, pekerja diberitahu bahwa ia telah di-PHK. Pekerja kemudian mengajukan gugatan pembatalan PHK, dengan alasan PHK tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kasus ini pekerja mencoba membangun konstruksi bahwa karena ia melaksanakan kegiatan serikat pekerja, maka ia mendapatkan perlindungan hukum dan tidak bisa dikenakan tindakan disiplin berupa PHK karena mangkir.

 

Kita menemukan bahwa argumen union busting juga digunakan sebagai pembelaan oleh pekerja dalam kasus penolakan mutasi. Hal ini antara lain ditemukan dalam perkara nomor 27/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Pal, di mana pekerja menyampaikan argumen sebagai berikut:

Bahwa dikarenakan pekerja adalah ketua komisariat serikat buruh di dalam perusahaan, maka salah satu cara yang sangat licik pengusaha yaitu melakukan pemberangusan serikat buruh dalam perusahaan tanpa harus membayarkan hak-hak normatif pekerja yaitu dengan cara memutasi pekerja selaku ketua komisariat serikat buruh ke Makasar.

 

Dengan argumen yang demikian pekerja ingin menyatakan bahwa mengingat kedudukannya sebagai pengurus serikat pekerja, pengusaha tidak dapat begitu saja melakukan mutasi terhadapnya. Tindakan mutasi tersebut dapat melemahkan serikat pekerja, sehingga dapat dianggap menghalang-halangi kegiatan serikat pekerja yang dilindungi undang-undang.

 

Selain itu pembelaan dengan menggunakan argumentasi union busting juga digunakan pekerja dalam kasus skorsing. Hal ini antara lain kita temukan dalam perkara nomor 112 PK/Pdt.Sus/2010, di mana pekerja antara lain mendalilkan sebagai berikut:

Tags:

Berita Terkait