Memposisikan Union Busting
Kolom

Memposisikan Union Busting

Tulisan ini memperlihatkan bagaimana satu ketentuan undang-undang, yaitu mengenai union busting, yang tercetak dengan kata-kata yang sama, namun menjadi konsep yang dipahami dan dijalankan secara berbeda oleh pekerja dan pengusaha.

Bacaan 2 Menit

 

Ketentuan mengenai union busting memang diciptakan untuk melindungi keberadaan serikat pekerja. Oleh karena itu bisa dimengerti jika pekerja, khususnya pengurus serikat pekerja, yang mendapatkan tindakan disiplin kemudian menggunakan hal ini sebagai pembelaannya. Jika dilihat dari sejarahnya ketentuan mengenai union busting ini memang muncul sebagai reaksi atas tindakan represif pengusaha dalam memberangus keberadaan serikat pekerja.

 

Tindakan represif ini diwujudkan dalam bentuk pemberian tindakan disiplin. Meskipun saat ini ketentuan mengenai union busting sudah mapan (well established), namun tidak serta merta tindakan represif pengusaha terhadap serikat pekerja menjadi hilang. Bisa saja terjadi bahwa tindakan disiplin diberikan memang sebagai tekanan atau upaya pemberangusan serikat pekerja. Dalam hal ini maka pembelaan dengan menggunakan konsep union busting relevan untuk diajukan. Namun sebaliknya ada juga pengurus serikat pekerja yang kebetulan memang melakukan pelanggaran, kemudian saat diberikan tindakan disiplin ia menggunakan apapun upaya pembelaan yang ada, termasuk dengan dalih union busting.

 

Di sisi pengusaha, kedudukan seorang pekerja sebagai anggota ataupun pengurus serikat pekerja tidak bisa menjadi alasan pemaaf jika yang bersangkutan memang melakukan pelanggaran. Jika yang bersangkutan melakukan pelanggaran maka tindakan disiplin harus diberikan, terlepas dari kedudukannya sebagai anggota ataupun pengurus serikat pekerja. Namun pengusaha memang harus berhati-hati pada saat memberikan tindakan disiplin kepada pengurus serikat pekerja, jika syarat-syarat formil dan materiil untuk pemberian tindakan disiplin tidak dipenuhi, pengusaha dapat dituduh telah melakukan praktik union busting.

 

Konsep Union Busting menurut Pengadilan

Sebagaimana penulis sampaikan di atas, dalam proses persidangan terjadi proses dialektika antara konsep hukum mengenai union busting yang dipahami oleh pekerja dan yang dipahami oleh pengusaha. Proses dialektika pada dasarnya adalah suatu rekonstruksi konsep union busting yang kemudian tertuang dalam putusan pengadilan. Konsep hukum dalam putusan pengadilan ini yang sering disebut sebagai kaidah hukum berdasarkan putusan pengadilan. Beberapa kaidah hukum yang dapat diidentifikasikan dari putusan-putusan pengadilan terkait masalah union busting dapat disajikan di bawah ini:

  • Untuk menentukan ada tidaknya union busting, harus ditetetapkan terlebih dahulu dengan suatu putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap. Kaidah hukum ini kita temukan dalam Putusan Nomor 27/Pdt.Sus-PHI/2-15/PN.Pal, dimana pekerja mengajukan pembatalan PHK karena menolak mutasi, dengan dalil bahwa mutasi yang dilakukan merupakan upaya union busting.
  • Pengusaha dapat membuktikan bahwa pekerja mangkir, dengan demikian PHK adalah murni dikualifikasikan mengundurkan diri dan bukan karena pemberangusan serikat pekerja. Kaidah hukum ini ditemukan dalam Putusan Nomor 152/Pdt.Sus PHI/2015/PN.Bdg.
  • Pekerja telah melakukan mogok kerja yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 137, 138 dan 139 dengan cara anarkhis sehingga pengadilan mengabulkan permohonan PHK. Kaidah hukum ini ditemukan dalam Putusan Nomor 32/G/2012/PHI/PN.Bdg, dimana pekerja menggugat penetapan PHK karena keterlibatan pekerja dalam melakukan mogok kerja dilindungi undang-undang.
  • Pengusaha tidak dapat menyampaikan cukup bukti adanya pelanggaran pekerja, sehingga permohonan PHK ditolak. Kaidah hukum ini kita temukan dalam Putusan Nomor 121/G/2013/PHI/PN.Bdg, dimana pengusaha menggugat PHK karena penggaran berat atas Perjanjian Kerja Bersama akibat melakukan aksi mogok yang dilakukan tanpa ijin. Di depan persidangan pengusaha tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran tersebut.
  • Pengadilan membatalkan tindakan mutasi dan PHK yang dilakukan pengusaha, karena pekerja tercatat sebagai anggota tim perunding PKB yang telah disepakati kedua belah pihak dan mutasi dilakukan pada waktu berlangsungnya perundingan. Mutasi yang dilakukan dianggap melanggar ketentuan Pasal 28 huruf a Undang-undang Nomor 21 tahun 2000. Kaidah hukum ini ditemukan dalam Putusan Nomor 408 K/Pdt.Sus/2011.
  • PHK yang dilakukan pengusaha dilakukan tanpa melalui proses bipartite, sehingga PHK dibatalkan oleh pengadilan. Kaidah hukum ini ditemukan dalam Putusan Nomor 5 PK/Pdt Sus/2013 dimana pengusaha melakukan PHK terhadap pekerja dengan alasan pekerja telah mangkir karena mengikuti kegiatan serikat pekerja.
  • Mutasi yang dilakukan pengusaha didasarkan pada Perjanjian Kerja Bersama yang telah habis masa berlakunya, sehingga mutasi dibatalkan oleh pengadilan. Kaidah hukum ini ditemukan dalam Putusan Nomor 59 PK/Pdt.Sus.PHI/2017 dimana pengusaha melakukan mutasi terhadap 3 orang pekerja yang menjadi pengurus serikat pekerja dan pekerja mengugat pembatalan atas mutasi tersebut.
  • Pembatalan PHK adalah telah tepat dan benar karena PHK dilakukan oleh pengusaha berkenaan dengan adanya kegiatan pekerja dalam rangka melakukan tugas kepengurusan selaku pengurus serikat pekerja. Kaidah hukum ini ditemukan dalam Putusan Nomor 87 K/Pdt.Sus.PHI/2014 dimana pekerja mengajukan gugatan terhadap pengusaha yang melarang pekerja memasuki tempat kerja dan melakukan PHK sepihak, setelah pekerja menanyakan hak-hak para pekerja kepada pengusaha.

 

Apabila kita rangkum, dari putusan-putusan pengadilan tersebut dapat kita tarik kaidah-kaidah hukum sebagai berikut:

  • Pemberian tindakan disiplin harus beralasan, dapat dibuktikan secara materiil dan mengikuti prosedur hukum acara yang ditetapkan serta sesuai dengan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku.
  • Mutasi dapat dilakukan jika ada kebutuhan operasional perusahaan. Mutasi tidak dapat dilakukan jika pengurus serikat pekerja sedang menjalankan penugasan yang telah disepakati perusahaan dan serikat pekerja dan sesuai dengan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku.
  • Mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 137-139 Undang-undang No.13/2003, atau dilakukan secara anarkhis merupakan pelanggaran dan dapat dikenakan tindakan disiplin.
  • Ada atau tidaknya Union Busting harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.

 

Kaidah-kaidah hukum tersebut di atas penting karena memberikan gambaran bagaimana pengadilan mengkonstruksikan union busting. Para pihak, dalam hal ini pekerja dan pengusaha perlu untuk memahami kaidah-kaidah hukum tersebut dan seperlunya menyikapinya secara tepat untuk mengantisipasi jika pihak lainnya membawa permasalahan yang ada ke pengadilan. Namun demikian, secara inheren proses dialektika dan rekonstruksi tidak pernah berhenti, tetapi terus saja terjadi secara berkesinambungan. Oleh karena itu putusan pengadilan yang ada juga tidak bisa dianggap bersifat final, tetapi masih memungkinkan untuk dilakukan telaah terhadapnya.

 

Dalam kaitan itu di bawah ini akan disampaikan beberapa catatan penulis terhadap kaidah-kaidah hukum yang diputuskan pengadilan dalam kasus-kasus mengenai union busting. Pertama mengenai tindakan disiplin, pemberian tindakan disiplin merupakan satu permasalahan yang paling banyak diangkat dan dikaitkan dengan union busting. Dalam hal ini perlu digarisbawahi bahwa kedudukan sebagai pengurus serikat pekerja tidak boleh menjadi dasar untuk menerapkan perlakuan istimewa. Pengurus serikat pekerja tidak kebal hukum, artinya jika memang melanggar ia harus dikenakan sanksi sama seperti pekerja lainnya. Sejalan dengan hal itu, syarat-syarat dan prosedur pemberian sanksi yang harus dipenuhi juga harus sama dengan syarat dan prosedur yang berlaku untuk pegawai lainnya, tidak boleh lebih ketat ataupun lebih longgar.

 

Catatan kedua sehubungan dengan mutasi. Aturan nomor satu dalam pengelolaan perusahaan adalah efisiensi. Tidak ada yang lebih penting bagi perusahaan selain efisiensi. Oleh karena itu perusahaan harus memiliki kewenangan mutlak untuk menyusun organisasi dan membuat tata kelola untuk menghasilkan proses kerja yang paling efisien, termasuk di dalamnya penugasan dan mutasi pekerja. Pengadilan membuat kaidah hukum bahwa mutasi tidak dapat dilakukan jika ada pembatasan yang disepakati dalam Perjanjian Kerja Bersama. Pembatasan yang demikian dapat merintangi perusahaan Dalam menjalankan usahanya dengan cara yang paling efisien. Oleh karena itu pihak pengusaha perlu jeli untuk tidak memasukan masalah penugasan dan mutasi ini ke dalam Perjanjian Kerja Bersama, dan tetap menjadi kewenangan pengusaha sepenuhnya.

 

Catatan ketiga terkait dengan mogok kerja. Sesuai peraturan perundang-undangan mogok kerja sudah diakui sebagai salah satu hak dasar pekerja untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya. Pelaksanaan mogok kerja memang telah diatur dan diberikan pembatasan melalui ketentuan perundang-undangan, khususnya Pasal 137-139 Undang-undang No.13/2003 dan Kepmenakertrans No.232/MEN/2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Yang Tidak Sah.

 

Namun demikian, dalam praktiknya banyak dijumpai mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan, misalnya mogok kerja dilakukan sebagai bentuk solidaritas atas mogok kerja yang dilakukan serikat pekerja lain, mogok kerja sebagai bentuk keberatan atas sanksi yang diberikan kepada pengurus serikat pekerja, atau mogok kerja sebagai bentuk protes atas pembayaran bonus tahunan yang dianggap kurang.[5] Mogok kerja juga sering dilanjutkan dengan aksi unjuk rasa dan kadangkala berakhir anarkis.

 

Terhadap pekerja yang melakukan mogok kerja dan tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan memang dapat saja diberikan sanksi. Namun demikian jika mogok kerja telah terjadi, pengusaha akan mendapatkan kerugian yaitu hilangnya produktifitas kerja. Oleh karena itu pengusaha sebisa mungkin harus menghindari terjadinya mogok kerja, dengan mengupayakan agar tidak terjadi deadlock dalam perundingan. Jika kesepakatan perundingan memang tidak mungkin dicapai, pengusaha harus segera membawa permasalahan tersebut sebagai perselisihan hubungan industrial ke mediasi. Dengan demikian maka pekerja tidak memiliki alasan untuk melakukan mogok kerja.

 

Catatan keempat mengenai union busting sebagai tindak pidana. Sebagaimana penulis sampaikan di atas, ketentuan mengenai union busting dapat ditemukan dalam UU No. 20 tahun 2001 khususnya Pasal 28 mengenai perbuatan yang dilarang dan Pasal 43 ayat (1) mengenai sanksi pidana. Nampaknya pengadilan mengartikan union busting secara sempit dan harus dikaitkan dengan Pasal 43 ayat (1), sehingga menjadi rumusan tindak pidana.

 

Sesungguhnya kita bisa menggunakan Pasal 28 secara terpisah, yang merumuskan perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan dianggap sebagai union busting. Jika ada pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata berdasar Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum. Namun memang harus diakui bahwa pilihan menggunakan gugatan perdata kurang disukai oleh serikat pekerja, karena memerlukan biaya dan potensi kesulitan dalam eksekusi putusan jika dimenangkan. Oleh karena itu dapat dimengerti jika union busting lebih sering dipahami sebagai suatu tindak pidana.

 

*)Dr. Nugroho Eko Priamoko, SH MHum LL.M adalah Praktisi dan pemerhati hubungan industrial, tinggal di Pekanbaru.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

[1]    Juanda Pengaribuan, Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi Bidang Hukum Ketenagakerjaan dilengkapi Ulasan Hukum, (Jakarta : Muara Ilmu Sejahtera Indonesia, 2012), hal.136.

[2]   Kelly, Metthew A., Labor and Industrial Relation – Terms, Laws, Court Decision, and Arbitratiion Standard, (Baltimore: The John Hopkins University Press, 1987), hal.107.

[3]    Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1981), hal.48.

[4]    Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma – Sebuah Telaah Filsafat Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Filsafat Hukum Undip, Semarang, 4 Nopember 2010, hal.31-33.

[5]    Willy Farianto, Mogok Kerja dalam Perspektif Yuridis dan Sosiologis, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No.4 Vol.21 Oktober 2014: hal.632-654.

Tags:

Berita Terkait