Mendorong Pembahasan RUU PKS Agar Segera Disahkan
Terbaru

Mendorong Pembahasan RUU PKS Agar Segera Disahkan

Semua anggota dewan dan fraksi di parlemen harus menyatukan persepsi dan berkomitmen agar segera membahas dan menyetujui RUU PKS menjadi UU pada akhir 2021.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Sejumlah narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Mengawal RUU PKS dalam Prolegnas 2021', Rabu (21/7/2021) kemarin. Foto: RFQ
Sejumlah narasumber dalam diskusi virtual bertajuk 'Mengawal RUU PKS dalam Prolegnas 2021', Rabu (21/7/2021) kemarin. Foto: RFQ

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) agar dapat disahkan menjadi UU terkendala. Sebab, proses pembahasan di parlemen memunculkan banyak tafsir dan pertanyaan. Untuk itu, seharusnya pembentuk UU satu persepsi mendorong pengesahan RUU PKS pada akhir 2021.

“Proses pembahasan RUU PKS ini perlu dikawal agar dapat segera disahkan menjadi UU dalam tahun ini,” ujar Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat dalam sebuah diskusi virtual bertajuk “Mengawal RUU PKS dalam Prolegnas 2021”, Rabu (21/7/2021) kemarin.

Dia mengatakan RUU PKS sudah digagas sejak 2012, tapi hingga dua kali pergantian periode DPR, RUU PKS tak juga kunjung disahkan menjadi UU. Keberadaan payung hukum yang bersifat lex spesialis ini sangat dibutuhkan untuk menangani beragam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioitas 2021, RUU PKS berada pada urutan 16.

“Semua anggota dewan dan fraksi di parlemen harus menyatukan persepsi dan berkomitmen agar segera membahas dan menyetujui RUU PKS menjadi UU,” kata Lestari Moerdijat. (Baca Juga: Sejumlah Usulan Komnas Perempuan dalam RUU PKS)

“Kita harapkan pembahasan RUU PKS yang kini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 merupakan babak akhir untuk menjawab penantian panjang publik akan adanya undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan.”

Menurutnya, RUU PKS bagian tanggung jawab negara untuk menangkal terjadinya kekerasan seksual di tanah air. Baginya, political will semata pun tak cukup, perlu perubahan radikal dalam pola pikir dan cara pandang untuk meniadakan bias gender yang dapat mengganjal proses pembahasan RUU ini.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan sudah empat kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara Panitia Kerja (Panja) RUU PKS dengan berbagai para pemangku kepentingan menemui persoalan terbesar yakni adanya kekeliruan cara pandang dan kekeliruan melihat RUU PKS. Karena itu, penting menyamakan persepsi antar fraksi dan anggota dewan sebelum membahas RUU PKS.

“Semua pihak hendaknya beradu argumentasi berlandaskan fakta, data, dan pengalaman empirik selama ini. Jangan bersandar pada interpretasi dan tuduhan abstrak yang mengawang-awang,” kata Taufik Basari.

Sementara Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Anggia Ermarini melihat tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan dalam beberapa waktu terakhir.  Karena itulah, RUU PKS menjadi urgen keberadaannya untuk melindungi kaum rentan.

Sejak awal, organisasi perempuan NU itu mendukung dan mendorong tindak lanjut pembahasan hingga pengesahan RUU PKS menjadi UU. Sebagai bentuk dukungan, Fatayat NU selama ini melalui jaringannya di dalam negeri maupun luar negeri kerap memberikan pendampingan terhadap para korban kekerasan seksual.

Senada, Ketua Bidang Sosial Kemasyarakatan PP Nasyiatul Aisyiyah, Khotimun Susanti berpandangan melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan, termasuk kekerasan seksual merupakan perintah agama. Korban kekerasan seksual adalah orang tertindas yang harus dilindungi secara hukum. “Itu esensi perlindungan di negara hukum, seperti Indonesia,” kata Khotimun.

Aktivis gender dan hak asasi manusia (HAM) Yuniati Chuzaifah menilai penting aturan setingkat UU untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual terutama kalangan perempuan dan anak-anak. Menurutnya, anak lelaki atau perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual, apalagi di era disrupsi teknologi digital saat ini. “Kekerasan seksual tidak hanya bisa terjadi secara konvensional, tetapi juga bisa secara daring dengan bermacam bentuk.”

Yuniati melanjutkan kasus kekerasan seksual secara daring pertama kali di laporkan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 1986. Empat belas tahun kemudian yakni pada 2000 terdapat ratusan laporan tentang kekerasan seksual secara daring masuk ke KPAI. Laporan itu belum termasuk laporan yang masuk ke kepolisian.

Menurutnya, banyaknya laporan yang masuk ke KPAI dan kepolisian menunjukan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak berada di depan mata. Sementara temuan Komisi Nasional Perempuan, terdapat banyaknya korban berjatuhan, tapi tak ada pelaku yang diganjar hukuman lantaran ketiadaan aturan hukumnya. “Jadi, sungguh aneh bila ada pihak yang menganggap RUU PKS tidak urgen,” katanya.

Tags:

Berita Terkait