Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar
Kolom

Menerapkan Prinsip Kepercayaan dalam Menyikapi Hak Ingkar

Salah satu cara untuk menjaga kredibilitas dan integritas arbiter adalah bagaimana seorang arbiter dapat berani menolak suatu perkara bilamana isu kepercayaan akan berpotensi besar muncul.

Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga W. Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa
Muhamad Dzadit Taqwa (kiri) dan Anangga W. Roosdiono (kanan). Foto: Istimewa

Beberapa saat belakangan, banyak kuasa hukum yang menggunakan hak ingkar terhadap arbiter. Conflict of interest menjadi dasar yang paling umum dijadikan alas. Beberapa contohnya adalah arbiter yang ditunjuk: (1) memiliki suatu hubungan persaudaraan atau kekerabatan; (2) pernah mewakili sebagai kuasa hukum pihak yang menunjuk dalam perkara lain; atau (3) pernah menjadi pimpinan atau pengurus perusahaan yang sedang bersengketa.

Ujung yang diharapkan oleh pihak yang menggunakan hak ingkar adalah digantinya arbiter yang diingkari tersebut dengan arbiter yang lain. Dengan demikian, hak ingkar didudukkan sebagai mekanisme perlindungan hukum kepada para pihak saat masih dalam proses arbitrase. Berbeda dengan mekanisme pembatalan yang berada di ujung proses dan dapat membuat suatu putusan arbitrase menjadi tidak berlaku lagi, penggunaan hak ingkar tidak membuat terhapusnya karakteristik putusan arbitrase yang final dan mengikat.

Penulis hendak menyoroti adanya dua posibilitas respon dari arbiter yang diingkar, yakni menerima atau menolak. Padahal, kita perlu memperhatikan implikasi-implikasi tidak baik bilamana arbiter yang diingkari tersebut tetap menjalankan fungsinya sebagai arbiter, yakni tidak terjalankannya dengan baik prinsip kepercayaan (trust) sebagai salah satu prinsip utama dalam proses arbitrase dan kesia-siaan dari proses arbitrase.

Baca juga:

Hak Ingkar: Apa, Bagaimana, Mengapa

Hak ingkar terdiri dari dua kata, yaitu hak dan ingkar. Sebagai suatu hak, kuasa penggunaannya diserahkan kepada setiap pihak yang bersengketa dalam arbitrase, sehingga mereka dapat atau tidak menggunakannya. Sementara ingkar, asal katanya berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah inkār (Arab) yang berarti sangkalan atau bantahan. Menyangkal berarti tidak mengakui atau tidak membenarkan, seperti kegiatan menangkis; ada variabel eksternal yang hendak masuk tetapi ditolak oleh internal subjek.

Dalam konteks ini, objek yang disangkal adalah eksistensi arbiter. Apapun yang disampaikan, diputus, dilakukan oleh arbiter tersebut (kita tempatkan sebagai variabel eksternal) ditolak agar tidak memiliki dasar hukum apapun kepada subjek/pihak yang mengingkari (kita tempatkan sebagai variabel internal). Sejatinya, apa yang diinginkan oleh pihak tersebut adalah mengganti arbiter tersebut dengan arbiter lain.

Konstruksi pengertian ini berguna karena UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS) tidak memberikan pengertian secara eksplisit mengenai hak ingkar. UU a quo langsung masuk ke dalam tahapan-tahapan hak ingkar dalam konteks arbitrase ad-hoc. Sementara dalam konteks arbitrase institusi, karena hak ingkar berkaitan dengan hukum acara, mekanisme hak ingkar yang diatur oleh institusi-lah, seperti Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI, yang diberlakukan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait