Mengulas Reformulasi Delik Perzinahan dan Kohabitasi dalam KUHP Baru
Utama

Mengulas Reformulasi Delik Perzinahan dan Kohabitasi dalam KUHP Baru

Terdapat reorientasi nilai yang coba diakomodir sistem nilai ke-Indonesiaan dalam delik perzinahan dan kohabitasi dalam KUHP baru. Pengaturan kohabitasi menyerap realisasi sosial, budaya dan keagamaan yang terdapat di masyarakat Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Pro Kontra KUHP: Kemunduran Sistem Hukum dan Demokrasi di Indonesia', Selasa (13/12/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi bertajuk 'Pro Kontra KUHP: Kemunduran Sistem Hukum dan Demokrasi di Indonesia', Selasa (13/12/2022). Foto: RFQ

Sejak pembahasan hingga pengambilan keputusan persetujuan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU terus menuai sorotan publik. Beragam kritik terhadap sejumlah isu krusial termasuk soal delik perzinahan belakangan menuai sorotan dunia internasional, bahkan disebut-sebut menghambat iklim investasi. Pengaturan delik perzinahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru memang mengalami reformulasi dibandingkan KUHP peninggalan kolonial Belanda.

Peneliti Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Suhariyanto mengatakan KUHP peninggalan kolonial mengatur delik perzinahan dengan membatasi salah satu pihak terikat perkawinan. Misalnya, suami atau istri melakukan perzinahan dengan orang lain yang bukan pasangannya yang sah.

Sementara delik perzinahan diatur dalam Pasal 411 KUHP baru mengalami redefinsi tentang perzinahan. Dalam KUHP baru delik perzinahan merupakan delik aduan absolut yakni suami atau istri yang terikat dalam ikatan perkawinan; orang tua atau anaknya yang tidak terikat perkawinan. Artinya, delik perzinahan tak bisa semua pihak dapat membuat pengaduan.

“Jadi, delik perzinahan KUHP baru menyasar juga pelaku yang keduanya tidak dalam ikatan perkawinan,” ujar Budi Suhariyanto dalam sebuah diskusi bertajuk “Pro Kontra KUHP: Kemunduran Sistem Hukum dan Demokrasi di Indonesia”, Selasa (13/12/2022).

Baca Juga:

Dia menerangkan delik aduan absolut menjadi batasan pihak yang memiliki hak membuat aduan atau laporan ke pihak aparat penegak hukum. Ia melihat pengaturan delik perzinahan dalam KUHP baru sebagai jalan tengah, tidak terlalu konservatif maupun liberal. Kendati terdapat laporan atau aduan misalnya, ternyata masih dibuka peluang dicabutnya laporan sepanjang perkara belum diperiksa di persidangan.

“Artinya, KUHP baru masih memberi kesempatan keberlangsungan kehidupan privasi pasangan suami istri sepanjang adanya penyesalan, keinsyafan secara internal, dan kekeluargaan agar bisa kembali menjalani kehidupan harmonis.”  

Selain itu, kata Budi, pengaturan tindak pidana kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan perkawinan) atau kumpul kebo. Pengaturan kohabitasi dalam KUHP baru merupakan hal baru sebagaimana diatur Pasal 412 KUHP. Dalam KUHP peninggalan kolonial tidak mengatur kohabitasi, sehingga bila pasangan yang tidak terikat perkawinan dan hidup bersama tidak dapat dikriminalisasi. Tapi, dengan KUHP baru hal tersebut sebagai tindak pidana. Ancaman pidana penjara maksimal 6 bulan bagi yang melanggar aturan larangan kohabitasi tersebut. 

Sama halnya dengan delik perzinahan, kohabitasi merupakan delik aduan absolut. Sepanjang tidak adanya aduan, pelaku kohabitasi tak dapat dituntut. Pihak yang memiliki hak membuat aduan kohabitasi adalah suami atau istri yang terikat perkawinan, dan orang tua atau anaknya yang tidak terikat perkawinan. Namun, masih diberikan peluang menarik aduan atau laporan sepanjang belum masuk pemeriksaan di persidangan.

Ia melihat pengaturan kohabitasi menyerap realisasi sosial, budaya, dan keagamaan yang terdapat di masyarakat Indonesia. Kultur masyarakat Indonesia cenderung memandang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan adalah perbuatan keliru dan tercela. Karenanya, KUHP baru mencoba mengkriminalisasi perbuatan kohabitasi tersebut.

Pasal ini menjadi kontroversi ketika membandingkan dengan masyarakat negara lain yang memiliki budaya dan pandangan nilai-nilai privasi terkait hak seksualitas dilindungi. Hal tersebut merupakan hal wajar karena ada perbedaan dimensi budaya dan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya.

Menurutnya, terdapat reorientasi nilai yang coba diakomodir sistem nilai ke-Indonesiaan dalam delik perzinahan dan kohabitasi dalam KUHP baru yang filosofinya berupa penjagaan dan penghormatan terhadap institusi/lembaga perkawinan dan nasab keturunan. Hal ini berbeda dengan KUHP kolonial dengan sistem nilai kolonial di masa itu. “Kalau tidak ada pengaturan, nasabnya nanti tidak bersambung dan ada yang dirugikan nanti.”

Pria yang sebelumnya Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung itu melanjutkan reformulasi pasal perzinahan dan kohabitasi dalam KUHP baru tak melulu harus mengakomodir hukum modern dari negara maju. Tapi, tetap harus disaring terlebih dulu apakah hukum modern negara maju tersebut sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat Indonesia atau sebaliknya.

“Nah, pembentuk UU melihat perlu ada reorientasi pengembangan nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat untuk diakomodir dalam pembaharuan KUHP.”

Sementara Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai delik perzinahan dan kohabitasi merupakan pengaturan yang bagus dalam KUHP baru. Sebab, terhadap orang yang melakukan perzinahan maupun kohabitasi tidak serta merta dapat diadukan atau dilaporkan ke aparat penegak hukum. Namun, dalam implementasi di lapangan, Bivitri memperkirakan bakal menimbulkan persoalan.

Misalnya, bila seseorang dilaporkan melakukan delik perzinahan dan diproses hukum terlebih dahulu. Namun belakangan tak dapat dilakukan penuntutan akibat pelapor bukan pihak keluarga yang memiliki hak membuat aduan. Sementara orang yang dilaporkan sudah menjadi tersangka. “Itu artinya ada masalah. Dua level ini harus kita bicarakan, sehingga menjamin penggunaan aturan ini. Ini karakter absolut dan harus dihilangkan dari KUHP modern,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait