Mengurai Sengkarut Penanganan Perkara Koneksitas
Kolom

Mengurai Sengkarut Penanganan Perkara Koneksitas

KUHAP sudah mengatur secara gamblang perkara yang melibatkan subjek hukum sipil dan militer secara bersama diatur dalam Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 dan disebut sebagai perkara koneksitas.

Bacaan 6 Menit

Secara yuridis formal, KPK memiliki kewenangan untuk menangani kasus korupsi di instansi manapun, termasuk militer, hal itu secara eksplisit diuraikan dalam Pasal 6 s/d Pasal 15 dalam UU Nomor 30 Tahun 2022 tentang KPK. Di mana KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan asas lex specialist derogate lex generalis (undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum).

Selain itu, dalam beberapa kesempatan, para pemerhati hukum menegaskan bahwa penanganan kasus korupsi Basarnas merupakan kewenangan peradilan umum, karena anggota TNI tunduk pada UU No. 31/1999 jo. UU 20/2001 Pasal 1 angka 2 huruf b yaitu ”pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP “ dan huruf c “orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah”.

Dengan begitu, mengingat perkaranya adalah tindak pidana korupsi dan rujukannya UU No. 31/1999 jo. UU 20/2001 yang mengatur secara khusus rumusan delik Tipikor, maka setiap warga negara, termasuk anggota TNI bisa disangkakan berdasarkan pasal-pasal yang ada dalam UU tersebut.

Begitu pula dengan kompetensi absolut peradilan yang berhak untuk mengadili, dengan merujuk Pasal 92 ayat 3 KUHP yang menyebutkan, “Semua anggota angkatan perang juga dianggap sebagai pejabat”. Nah, bagi publik memahaminya bahwa anggota TNI termasuk ke dalam rumpun Pegawai Negeri atau pejabat, sehingga kompetensi peradilan umum yang dianggap lebih cocok untuk mengadili.

Selain itu, cukup beralasan dikarenakan anggota TNI menerima gaji atau upah dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), dan ini sinkron dengan ketentuan “Pegawai Negeri” sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 2 huruf c UU 31/1999 jo UU 20/2021, yakni, orang yang menerima gaji atau upah dari APBN/APBD. 

Pemahaman Hukum Pidana Secara Luas

Simons membagi hukum pidana dalam arti luas yakni dibedakan menjadi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil mengandung petunjuk-petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat hal dapat dipidananya seseorang (strafbaarheid), penunjukan orang yang dapat dipidana dan ketentuan tentang pidananya, dan ia menetapkan siapa dan bagaimana orang itu dapat dipidana. Sedangkan hukum pidana formil menurutnya mengatur tentang cara negara dengan perantara para pejabatnya menggunakan haknya untuk memidana.

Selain itu, menurut Van Bemmelen hukum pidana materiil adalah ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran UU hukum pidana dengan cara dilakukan 7 langkah. Pertama, negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran. Kedua, sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu. Ketiga, mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya.

Tags:

Berita Terkait