Meninjau Legalitas Surrogate Mother dari Aspek Hukum Positif
Kolom

Meninjau Legalitas Surrogate Mother dari Aspek Hukum Positif

Terdapat beberapa ketentuan yang menyiratkan bahwa Indonesia melarang praktik surrogate mother.

Bacaan 4 Menit
Wulan Fitriana. Foto: Istimewa
Wulan Fitriana. Foto: Istimewa

Teori konflik Dahrendorf menyebut manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Menurut Selo Soemardjan pakar sosiologi menjelaskan bahwa penyebab perubahan sosial adalah karena anggota masyarakat pada suatu waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan kehidupan yang lama.

Hal ini terlihat dari munculnya fenomena terjadinya praktik sewa menyewa rahim/surrogate mother akibat tidak tercapainya proses penciptaan janin secara alamiah. Fenomena sosial ini muncul karena dampak dari adanya perkembangan teknologi. Surrogate mother adalah ibu pengganti atau sewa rahim untuk mengandung dan melahirkan bayi.

Praktik Surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan ibu pengganti dengan metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah. (Yendi, 2011). Biasanya dalam praktiknya, dilandaskan pada perjanjian atau kontrak. Menurut Salim H.S, yang dimaksud dengan kontrak surogasi adalah: “kontrak atau perjanjian yang dibuat antara orang tua pemesan dengan ibu surrogate, di mana ibu surrogate akan mengandung, melahirkan dan menyerahkan anak tersebut kepada orang tua pemesan berdasarkan jangka waktu yang telah disepakati antara keduanya.

Sewa rahim/surrogate mother merupakan fenomena yang masih baru di Indonesia, namun di luar negeri terutama Amerika dan Eropa fenomena ini sudah menjadi perkara biasa. Di Indonesia, praktik sewa rahim sudah banyak dilakukan secara diam-diam dan tertutup di kalangan keluarga. Dalam praktiknya kasus sewa menyewa rahim banyak terjadi dan kerap menimbulkan berbagai permasalahan. Dalam sebuah studi yang dilakukan Research Centre Psikologi keluarga dan Anak di University of City, London, Inggris pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa ibu pengganti mengalami kesulitan melepaskan anak dan bahwa ibu dimaksudkan menunjukkan kehangatan yang lebih besar pada anak dari ibu hamil secara alami.

Baca juga:

Hal tersebut muncul karena naluri seorang ibu yang tidak rela bayi yang telah ia kandung diberikan oleh orang lain meskipun bukan merupakan anak kandungnya. Sehubungan dengan fenomena permasalahan sosial tersebut di atas secara yuridis, ibu pengganti apabila ditinjau dari Pasal 1320 KUHPerdata, secara perdata dapat dikatakan melakukan suatu perbuatan wanprestasi karena tidak melaksanakan isi perjanjian sesuai dengan kesepakatan.

Intinya, di Indonesia ibu pengganti tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian. Mengingat syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Dari segi tata nilai masyarakat di Indonesia masih belum dapat diterima dengan mempertimbangkan beberapa aspek di antaranya aspek sosial, psikologis, kesehatan serta hak-hak anak, bahkan secara sosiologis juga bertentangan dengan norma kesusilan dan norma kesopanan karena selain dianggap tidak etis dan di Indonesia belum menjadi sesuatu hal yang tabu dalam masyarakat juga dipandang dari aspek psikologis banyak hal yang dianggap riskan terhadap status anak, orang tua serta ibu pengganti.

Tags:

Berita Terkait