Pejabat dan Objek TUN Lingkup Politik Pembentuk UU
Berita

Pejabat dan Objek TUN Lingkup Politik Pembentuk UU

Mahkamah berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

ASH
Bacaan 2 Menit
Pejabat dan Objek TUN Lingkup Politik Pembentuk UU
Hukumonline
Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak uji materi Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004  juncto Pasal 1 angka 8-12 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang diajukan Pengurus Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SPPSI). Alasannya, rumusan pejabat dan objek tata usaha negara (TUN) dalam pasal-pasal itu merupakan lingkup politik pembentuk Undang-Undang (UU).

“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua Majelis MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 2/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Rabu (11/11) kemarin.

Pengurus SPPSI mempersoalkan  Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 8-12 UU PTUN) terkait definisi pejabat TUN dan pihak ketiga berkepentingan. Ketentuan itu menimbulkan perbedaan penafsiran sebagian hakim PTUN gara-gara ketidakjelasan frasa “pejabat tata usaha negara” dan ‘pihak ketiga’ yang tercermin dalam gugatan SPPSI atas dua SK Direktur PT Pertamina ke PTUN Jakarta.

Majelis PTUN tingkat pertama mengabulkan gugatan SPPSI yang menganggap SK Direktur PT Pertamina itu termasuk lingkup keputusan Pejabat TUN. Namun, dalam putusan tingkat banding dinyatakan sebaliknya (inkracht). SK Direktur PT Pertamina dianggap bukan objek keputusan pejabat TUN. Menurutnya, seharusnya keputusan Pejabat TUN diartikan secara luas (termasuk keputusan pejabat BUMN).

Selain itu, Pasal 53 khususnya frasa “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan” dinilai menimbulkan multitafsir. Menurutnya, frasa itu harus diartikan secara luas termasuk pihak ketiga yang kepentingannya dirugikan, tidak hanya seseorang atau badan hukum perdata. Karena itu, pemohon meminta MK memperluas definisi keputusan pejabat TUN termasuk keputusan direksi BUMN dan pihak ketiga yang berkepentingan (SPPSI).    

Mahkamah menganggap sesungguhnya persoalan pokok yang diajukan oleh para Pemohon bukanlah persoalan konstitusionalitas norma UU, melainkan persoalan penerapan atau pelaksanaan norma UU. Hal ini bertolak dari peristiwa empirik, dalam hal ini putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

“Persoalan luas ruang lingkup pengertian badan atau pejabat tata usaha negara bukanlah ditentukan oleh dan dibatasi dalam konstitusi, melainkan oleh politik hukum pembentuk Undang-Undang (di negara-negara civil law) atau putusan pengadilan (di negara-negara common law),” ujar Hakim Konstitusi I Gede Dewa Palguna saat membacakan pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah, konsep atau pengertian tentang badan atau pejabat tata usaha negara selalu berkembang sejalan dengan perkembangan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan yang semakin kompleks. Hal ini terlihat dari dinamisnya perkembangan hukum administrasi atau tata usaha negara baik di negara-negara common law maupun civil law.

Terlebih, jika mempertimbangkan tatanan global yang telah membuat bangsa-bangsa di dunia tak mungkin untuk tidak saling bergantung satu dengan yang lain. Salah satu yang berpengaruh terhadap perkembangan hukum administrasi atau tata usaha negara di tingkat nasional adalah berkembangnya apa yang dinamakan rezim regulator global atau rezim regulator internasional (international regulatory regimes). “Mahkamah berpendapat permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.”
Tags:

Berita Terkait