Pemanfaatan Teknologi dalam Hukum Acara Perdata Sebuah Keniscayaan
Utama

Pemanfaatan Teknologi dalam Hukum Acara Perdata Sebuah Keniscayaan

Penyederhanaan proses berperkara perdata dengan memanfaatkan teknologi sangat dibutuhkan untuk memudahkan masyarakat pencari keadilan menyelesaikan kesalahpahaman, perselisihan di masyarakat yang majemuk.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Arief Tarunakarya Surowidjojo saat berbicara dalam webinar bertajuk 'RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan', Rabu (23/3/2022). Foto: RFQ
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Arief Tarunakarya Surowidjojo saat berbicara dalam webinar bertajuk 'RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan', Rabu (23/3/2022). Foto: RFQ

Setelah puluhan tahun proses perubahan terhadap hukum acara perdata “mangkrak”. Tapi, kini mulai mengalami kemajuan. Pasalnya, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata (RUU HAP) bakal mulai dibahas antara DPR dan pemerintah. Menariknya, RUU tersebut mulai mengadopsi pengaturan pemanfaatan teknologi. Seperti yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur persidangan elektronik.

Ketua Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Arief Tarunakarya Surowidjojo mengatakan pemanfaatan teknologi menjadi keniscayaan di era teknologi informasi yang semakin pesat. Perkembangan digital ini menjadi nilai positif bila dimanfaatkan dalam prosedur hukum acara perdata. Untuk itu, pembentuk UU mesti mempertimbangkan pemanfaatan teknologi agar masuk dalam perumusan RUU HAP.

“Penggunaan teknologi untuk memangkas proses berperkara,” ujar Arief T Surowidjojo dalam sebuah webinar bertajuk “RUU Hukum Acara Perdata di Persimpangan Jalan”, Rabu (23/3/2022) kemarin.

Arief ingat betul sejak menempuh pendidikan hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) pada era 1970-an dan mulai berpraktik sebagai advokat sejak 1977, hukum acara perdata masih menggunakan peninggalan kolonial Belanda yakni Herzien Inlandsch Reglement (HIR) yang berlaku di pulau Jawa dan Madura. Kemudian, Rechtreglement voor de Buitengewesten (RGB) yang berlaku di luar pulau Jawa dan Madura; dan Reglement op de Rechtsvordering (RV).

Baca:

Hingga kini, HIR dan RGB masih eksis digunakan dalam praktik beracara perkara perdata. Menurutnya, RUU HAP sudah cukup lama berproses yang semestinya dapat segera dirampungkan. Sebab, pembaharuan hukum acara perdata menyangkut akses keadilan bagi masyarakat. Masyarakat dewasa ini membutuhkan HAP yang dapat merespon segala sesuatunya secara baik dan cepat.

Misalnya, penggunaan big data dan pemeriksaan saksi atau ahli secara jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi di pengadilan perlu diterapkan. Seperti pada tahap pembuktian menggunakan data analitik yang dapat diakses publik melalui sistem peradilan elektronik. Sita jaminan atau rekening bank misalnya, dapat menggunakan sita elektronik tanpa perlu penyitaan secara fisik. Intinya, penyederhanaan proses berperkara perdata dengan memanfaatkan teknologi sangat dibutuhkan untuk memudahkan masyarakat pencari keadilan.

“Jadi ini yang perlu diperhatikan dalam pembahasan RUU Hukum Acara Perdata,” harapnya.

Pendiri dan Senior Partner Firma Hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS) itu menilik negara tetangga, Singapura. Kendati telah maju sistem hukumnya, Singapura masih perlu mereformasi secara mendasar hukum acara perdatanya. Awal 2022, Singapura baru memberlakukan The New Singapore Rules of Court 2021. Konsep pengaturan tersebut dengan lima prinsip. Pertama, akses yang adil terhadap keadilan.

Kedua, proses yang cepat. Ketiga, pekerjaan yang menghemat biaya sebanding dengan sifat dan pentingnya tindakan; kompleksitas klaim; kesulitan masalah dan persoalan yang ditimbulkan; serta jumlah atau nilai klaim. Keempat, penggunaan sumber daya pengadilan secara efisien. Kelima, hasil yang adil dan praktis sesuai dengan kebutuhan para pihak. Begitu pula dengan Kanada melakukan hal serupa dengan prinsip yang mirip.

Bagi Arief, prinsipnya pemanfaatan teknologi yang maju dapat menyederhanakan proses, akses masyarakat mendapat keadilan, biaya terjangkau, kecepatan proses, dan adil bagi para pihak berperkara menjadi acuan yang banyak digunakan. “Saya pikir perubahan (hukum acara perdata, red) semua yuridiksi arahnya akan ke sana.”

Pria yang juga salah satu Pendiri Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (YSHK) itu berpendapat, bila tercapai tujuan dengan pembaharuan hukum acara perdata, beban anggaran negara bakal berkurang. Bahkan hak-hak warga negara lebih terlindungi, serta berperkara perdata tidak menjadi sesuatu yang mahal dan proses yang panjang.

“Berperkara perdata akan menjadi hal biasa dengan proses yang adil, terbuka, dan efisien untuk menyelesaikan kesalahpahaman, perselisihan di masyarakat kita yang majemuk,” katanya.

Peneliti Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK), Johanna Poerba menambahkan, perubahan hukum acara perdata menjadi kesempatan baik untuk menyesuaikan hukum acara perdata dengan perkembangan zaman. Misalnya, pemanfaatan teknologi, memperbaiki berbagai kekurangan, dan mengakomodir hal-hal yang belum diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku saat ini.

“Oleh karenanya revisi hukum acara perdata yang baru sebaiknya tidak lagi hanya sekedar memindahkan atau menegaskan ketentuan-ketentuan lama, tetapi juga menyediakan solusi yang lebih modern untuk mengatasi permasalahan hukum perdata yang makin kompleks,” katanya.

Tags:

Berita Terkait